Harta yang paling berharga adalah keluarga/Istana yang paling indah adalah keluarga/Puisi yang paling bermakna adalah keluarga/Mutiara tiada tara adalah keluarga. Demikian penggalan dari lirik lagu “Keluarga Cemara” untuk soundtrack serial televisi populer 1990-an dan kini diangkat ke layar lebarjuga dengan judul yang sama dengan intepretasi baru.
Tentu saja Keluarga Cemara era milenial bukan Abah yang mencari nafkah dengan menarik becak, tetapi menjadi tukang ojek daring (online). Becak memang sudah ketinggalan, seperti salah satu yang ada di rumah orangtua Abah. Hanya dijadikan hiburan untuk membawa isteri dan anak-anaknya di sekitar rumah.
Abah (Ringgo Agus Rahman) seorang kontraktor yang bangkrut karena tertipu terpaksa membawa keluarganya, Emak (Nirina Zubir), serta kedua anaknya Euis (Zara JKT 48) dan Ara (Widuri Sasono) dari rumah mewah di Jakarta ke rumah warisan keluarganya di Kabupaten Bogor. Anak-anaknya juga harus pindahdari skeolah internasional ke sekolah negeri.
Sekalipun jatuh miskin, Abah tetap menunjukkan tanggungjawab pada keluarga. Dia bekerja banting tulang dari buruh bangunan sebelum mendapatkan kesempatan menjadi ojek daring. Emak membantu dengan menjual opak juga tidak kalah militannya dibantu tetangganya (Welas Asih).
Yang paling terpukul ialah Euis yang sudah lekat dengan kegiatan dance dan harus realistis menjual opak di sekolahnya. Dalam satu adegan Euis nekad ke Bogor hanya untuk bertemu teman-teman dance-nya melanggar larangan Abahnya.
Berbeda dengan Ara yang tetap ceria dalam keadaan apa pun. Nama lengkap Ara adalah Cemara, yang jadi tajuk film ini, sekaligus ruhnya. Ara yang memberi semangat bagi keluarga ini. Dia juga mengingatkan bahwa dalam keadaan apa pun harta yang paling berharga adalah keluarga.
Di sini relevansi dari film “Keluarga Cemara” ketika di era industri 4.0 sekarang ini gadget membuat orang yang dekat termasuk keluarga menjadi jauh karena asyik dengan viral dan media sosial.
Ikatan keluarga ini dimetaforakan lewat telapak kaki dua anak Abah dan Emak di lantai semen di bawah tangga bak prasasti, disusul adik yang mereka yang lahir Agil (digambarkan dalam berapa adegan), serta deretan pohon cemara yang digambar Ara di diding rumah dengan menggunakan pastel itu.
Serta sebuah dialog yang dilontarkan Euis: “Abah kini lebih sering di rumah,” katanya. Cetusan yang enyengar bahwa ayah kelas menengah saat ini kerap melupakan hal yang remeh, tetapi sebetulnya penting bagi psikologis anak-anaknya.
Sewaktu masih hidup berkecukupan Euis merasa diabaikan Abahnya, seperti tidak menonton pertunjukkan dance dia hingga tidak hadir di ulang tahun Euis yang 13.
Kehadiran “Keluarga Cemara” menawarkan tontonan yang bernas, tontonan keluarga dengan cerita yang memikat, yang tidak terlalu banyak dibuat sineas Indonesia (Irvan Sjafari).