Status utang luar negeri kini bukan lampu kuning lagi. Bahkan sudah lampu merah. Sudah krisis. Namun, sepertinya tak ada solusi atas masalah krusial ini.
DI PENGUJUNG Agustus, kurs rupiah menembus angka Rp14.735 per dolar AS. Itu atinya perekonomian Indonesia makin menuju titik nadir. Pelemahan rupiah yang sudah terlalu parah dan tentu berdampak pada sektor lain. “Meningkatnya jumlah yang harus dikeluarkan pemerintah untuk bayar bunga hutang terutama pada saat jatuh tempo. Tahun 2018 bisa melebihi Rp400 T karena pelemahan kurs,” kata Daeng.
“Hutang luar negeri sektor swasta yang juga besar akan terdampak,” kata pengamat ekonomi, Salamuddin Daeng. Beban hutang jatuh tempo yang bisa tembus Rp400 T di tahun 2018 ini akan membuat APBN makin defisit. Belum lagi utang di BUMN dan sektor swasta. “Pemerintah, BUMN dan swasta secara serempak tidak bisa bayar utang. Ini tentu gawat,” ujarnya.
Tak hanya itu, pengamat ekonomi yang dikenal kritis ini juga mengungkapkan risiko utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga membubung tinggi. Akibatnya, perusahaan plat merah tersebut makin tidak produktif dan diambang kebangkrutan. “Risiko utang-utang BUMN yang memang sudah besar seperti utang bond (surat utang) Pertamina, PLN, BUMN Karya dan BUMN Perbankan akan meningkat,” ujar Daeng.
Utang BUMN dalam bentuk bond sudah mencapai Rp2.000 T dan bisa bertambah lagi di waktu saat ini serta yang akan datang. Dibandingkan dengan keuntungan BUMN tak yang seberapa, utangnya yang mencapai Rp2.000 T itu jelas sangat-sangat serius.
Kondisi krisis 2018 ini sangat berbeda dibanding krisis 1998. “Pada krisis ‘98, swasta tidak bisa bayar utang, tapi keuangan pemerintah sehat. Pemerintah disuruh IMF menanggung utang swasta. Sekarang tidak bisa lagi begitu, keduanya sama-sama berat,” tuturnya. Jika pemerintah memaksakan menambah beban utang guna menutupi utang BUMN dan swasta, kondisinya justru bertambah buruk.
Kondisi perekonomian nasional dewasa ini sangat sulit dan hampir tidak ada jalan keluarnya. “Bisa saja, pemerintah masih yakin dengan menambah uang. Tapi faktanya neraca eksternal defisit, APBN parah. Ini krisis, tapi solusi enggak ada yang baru sekarang ini,” ujarnya.
Apa sebab rupiah tak berdaya? Menurut Prof. Sri Edi Swasono, kondisi melemahnya rupiah saat ini berpangkal dari defisit atau kekurangan dalam anggaran, defisit neraca berjalan, dan defisit perdagangan. Juga minimnya kepercayaan masyarakat terhadap keadaan ekonomi nasional.
Yang paling penting, merosotnya dolar itu di samping defisit, kemudian defisit anggaran, kemudian perdagangan, kemudian defisit neraca berjalan, adalah kepercayaan masyarakat. “Ya masyarakat barangkali tidak mantap dengan keadaan ekonomi. Kalau tidak mantap dengan tidak merasa sreg dengan keadaan ekonomi ya tidak percaya pada rupiah,” ujar Sri Edi.
“Di samping yang dikatakan alasan ekonomis teknis seperti defisit, selama rakyat tidak percaya dengan kemampuan para pengelola ekonomi, ya begini,” katanya. Karenanya, pemerintah harus meningkatkan kepercayaan rakyat.
“Misalnya Federal Reserve System (FED) menaikkan suku bunga, itu ya ada efeknya. Tapi yang paling menentukan adalah psikologi masyarakat. Itu paling penting, meskipun ada faktor yang teknis tadi,” ujar mantan anggota MPR RI dari utusan golongan tersebut.●