
Peluang News, Jakarta – Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek berpotensi menyulitkan aktivitas pengawasan.
Demikian dikatakan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2024 di Jakarta, Senin (23/9/2024).
“Kalau rokok jadi polos, pandangan kami, ada risiko dari pengawasan karena tak bisa membedakan jenis rokok,” kata dia.
Menurut dia, kemasan rokok menjadi basis pemerintah dalam melakukan pengawasan.
“Risiko bisa jadi nyata kalau kemasan disamakan. Kita tak bisa kasat mata membedakan kemasan dan isinya, padahal proteksi awal kita melalui itu,” tuturnya.
Askolani memastikan Kemenkeu telah menyampaikan masukan tersebut kepada Kementerian Kesehatan.
Usulan tersebut termuat dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengestimasikan usulan kemasan rokok polos tanpa merek memberikan dampak ekonomi yang hilang sekitar Rp182,2 triliun.
Indef menilai kemasan polos akan mendorong downtrading (fenomena ketika konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah) hingga switching ke rokok ilegal lebih cepat dari yang terjadi, dan berpotensi menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09%.
Implikasi dari kebijakan kemasan polos ini diprediksi mengurangi penerimaan negara sekitar Rp95,6 triliun.
Anggota Baleg DPR RI Firman Soebagyo berpendapat usulan soal kemasan rokok polos tanpa merek berpotensi diskriminatif karena berdampak terhadap pedagang ritel dan petani tembakau.
Firman mengatakan aspek diskriminatif yang disorot ialah adanya peraturan yang dinilai mengabaikan hak-hak hidup masyarakat luas. Kebijakan itu berpotensi mendiskriminasi berbagai kelompok masyarakat, termasuk pedagang ritel dan petani tembakau.
Peraturan tersebut, tambah Firman, jelas akan berdampak pada kelompok masyarakat kecil seperti pedagang asongan, dan industri hasil tembakau yang telah berkontribusi besar pada pendapatan negara melalui cukai.
“Dampak tersebut terasa signifikan bagi tenaga kerja dan petani tembakau, yang selama ini menggantungkan hidup pada industri hasil tembakau,” kata Firman, mengakhiri. []