SRAGEN-—Jika Solo punya sentra batik Lawean, maka Kabupaten Sragen punya sentra batik di Kecamatan Masaran, tepatnya di Desa Kliwonan dan Pilang, sejak 1950-an. Hingga 2018 terdapat 2.567 unit usaha batik yang mampu menyerap tenaga kerja 7.233 orang di Masaran.
Awal mulanya, gaya batik Sragen identik dengan batik Surakarta. Para perintis kerajinan batik di Sragen umumnya pernah bekerja sebagai buruh batik di perusahaan milik juragan batik Surakarta. Batik gaya Surakarta biasanya memiliki warna dasaran gelap dengan motif bernuansa putih, atau biasa disebut batik latar hitam atau ireng.
Pada perkembangannya batik Sragen berhasil membentuk ciri khas yang berbeda dari gaya Surakarta. Batik Sragen lebih kaya dengan ornamen flora dan fauna. Ada kalanya dikombinasi dengan motif baku. Jadilah motif tumbuhan atau hewan yang disusupi motif baku, seperti parang, sidoluhur, dan lain sebagainya.
Di antara para perajin batik dari Masaran itu terdapat nama Rohmad Nugroho. Alumni FISIP UPN Yogyakarta ini melanjutkan usaha yang diritis orangtuanya sejak sepuluh tahun lalu dengan brand Sadewa.
“Sejak kuliah saya sudah terlibat di usaha orangtua saya. Mulanya bagian pemasaran. Namun akhirnya membuat sendiri,” ujar Rohmad kepada Peluang.
Pria berusia 40 tahun ini mengembangkan motifnya menjadi lebih modern, namun tetap mempertahankan pewarnaan alami, seperti pewarnaan kayu dan pewarnaan nila untuk biru.
“Motif tradisional seperti sidomukti, wahyu tumurun, tetap masih kita buat, tetapi sudah kita kurangi. Sementara pemakai warna kayu langka di kalangan pembatik di sini,” ujar Rohmad kepada Peluang beberapa waktu lalu.
Rohmad memproduksi batik untuk dua segmen. Untuk segmen khusus dibandroll dengan harga Rp10 juta-an per helai dan dapat terjual rata-rata tujuh helai per bulan. Sementara untuk segmen yang dipasarkan di pasar tradisional Jakarta dan Surabaya dijual sekitar Rp100 ribu jumlah dengan jumlah seribu helai per bulan.
“Kami juga memasok batik untuk Surakarta dan Yogyakarta,” pungkasnya (Van).