octa vaganza

Bakmi Engko A Hin, Kuliner Jalanan Tertua dan Terenak di Pasarminggu

JAKARTA—-Pasarminggu punya legenda kuliner kaki lima Bakmi Engko Ahin. Menemukannya tidak sulit, mereka yang tinggal di kawasan Kompleks AUP langsung menunjuk Jalan Pertanian III akan memberitahu.

Saya hanya butuh waktu lima menit untuk menemukan sebuah gerobak standar pedagang bakmi dan warung makannya tidak sampai dua puluh orang pada Kamis (13/6). Seorang pria sekitar 70 tahunan masih tampak bugar melayani para pembeli bersama seorang cucunya.

A Hin, demikian namanya sudah berjualan sejak 1980. Mulanya ia berdagang di pinggir lapangan selama 25 tahun, karena dilarang baru memutuskan menyewa tempat secara permanen.

“Harga semangkuk bakmi waktu saya jualan hanya Rp350,” ujar A Hin, seraya mengatakan merantau di Jakarta dan mulanya membuka toko kelontong di Pasar Senen.

Kini semangkuk bakmi ayam dibandroll Rp12 ribu dan dengan bakso Rp14.000. Kekuatannya terletak pada tekstur mienya dengan daging ayamnya yang dicincang halus, hingga renyah di lidah. Begitu juga tekstur rasa baksonya yang legit.

Namun kelebihan saya rasakan pada sambalnya yang berbeda dengan bakmi ayam kebanyakan. Kuah kaldunya juga menyengat di lidah. Biasanya bakmi ayam ini disajikan dengan pangsit goreng, Tetapi siang itu saya tidak beruntung, karena lebaran bahan untuk membuat pangsit sulit didapat.

Menurut cerita kawan-kawan saya di Pasarminggu, bakmi ini sudah habis pada waktu tutup. A Hin sendiri mengatakan ia buka setiap hari pukul sepuluh hingga pukul empat sore

“Porsinya hanya sampai 80-an, tidak bisa lebih, karena saya sudah tua. Itu sebabnya saya tidak bisa dipesan untuk hajatan,” tutur A Hin, yang mengaku tidak memaksakan diri mengejar keuntungan besar, namun meninggalkan kualitas.

A Hin membenarkan bahwa pelanggannya mulai dari 1980-an hingga anak-anak mereka.

Soal rasa ini juga dibenarkan Vicky, 37 tahun yang sudah sepuluh tahun menjadi langganan A Hin. Dia terkejut ketika diberitahu bahwa bakmi ini jauh lebih tua dari usianya. Dia memesan dua mangkuk bakmi yang langsung tandas di perutnya.

“Semangkuk nggak cukup, harganya juga ekonomis, saya juga bangga bisa menikmati bakmi yang bersejarah,” ujar dia (Irvan Sjafari).

Exit mobile version