hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Arah Pengembangan Koperasi Kita, Quo Vadis ?

Oleh: Imam Faturrohmin

75 Tahun sejak Niti Sumantri dan rekannya menggagas kelahiran Sentral Organisasi Koperasi Republik Indonesia atau SOKRI, pada awalnya ada harapan yang membuncah bahwa negeri yang baru lahir ini tidak hanya berdaulat secara politik tetapi juga secara ekonomi. Lantaran itu, melalui kehadiran SOKRI, sejumlah orang koperasi di tahun 1947 memberikan sumbangsih pemikirannya tentang bangun ekonomi yang cocok dengan republik yang baru berusia dua tahun itu.

SOKRI yang belakangan menjadi Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) adalah implementasi dari obsesi perekonomian rakyat yang secara konstitutif diperjuangkan Bung Hatta dalam UUD 1945. Bahwa perekonomian disusun atas dasar gotong royong, kekeluargaan, dan bangun usaha yang pas untuk itu adalah koperasi.

Jika hari ini perjalanan perkoperasian kita semakin suram kalau tak boleh dibilang mundur, mestinya ada sesuatu yang tidak beres di level kebijakan.

Koperasi kita hanya sedikit bernapas lega saat Soeharto menjadikan KUD sebagai mesin ekonomi ‘masyarakat pedesaan’ di tahun 1974. Saat itu hingga 1997, alokasi pupuk, kredit tani dan pengadaan pangan menjadi bagian yang integral dengan bisnis koperasi. 

Selepas era reformasi, sejak Indonesia takluk dengan kebijakan anti subsidi IMF, hingga hari ini nasib perkoperasian kita kian terpinggirkan. Nilai-nilai dan prinsip koperasi yang digadang sebagai koreksi total atas kapitalisme, profit motif serta pesaingan bebas, tak lagi membumi. Ini lantaran pengembangan koperasi berada di tataran kebijakan tambal sulam.

Kita sudah sama-sama mafhum, hampir tidak ada kebijakan pengembangan koperasi yang berjalan linear dengan misi besar mewujudkan soko guru perekonomian rakyat yang terasa bombastis itu. 

Setiap mereka yang didapuk menjadi menteri koperasi, asyik dengan obsesinya sendiri tentang koperasi. Adi Sasono yang bertekad menggulirkan Redistribusi Aset dari konglomerat ke rakyat kecil misalnya, terputus oleh program menteri berikutnya yang lebih concern pada penciptaan 70 ribu koperasi berkualitas. 

Celakanya, menteri koperasi selanjutnya tak menganggap faktor kuantitatif itu sebagai program populis. Maka, target pun bergeser populis, menjadi Gerakan Masyarakat Sadar Koperasi (Gemaskop).   

Begitulah, pada pergantian menteri berikutnya tidak kita lihat adanya kontinuitas pengembangan perkoperasian yang ajeg. Maka, hasilnya pun bisa kita tebak, garbage in garbage out, program yang sekadar menghabiskan anggaran tentu saja cuma menghasilkan laporan studi kebijakan yang menumpuk di gudang biro umum kantor kementerian.

Jelang periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, saat digitalisasi kian masif, maka kiblat pengembangan perkoperasianpun bergeser. Menteri koperasi terkini lebih melihat koperasi sebagai kumpulan manusia jadul alias para orang tua yang dinilai sangat tidak kompetitif dengan tuntutan zaman. Maka, pengembangan koperasi harus kembali direformasi melalui keterlibatan peran teknologi yang masif. Kebijakan perkoperasian secara nasional kini tengah menyasar pada citra mewujudkan koperasi modern. Saya masih belum jelas kemana orientasi yang dimaksdu modern itu ? Apakah koperasi yang secara teknis memanfaatkan teknologi terkini, yaitu digitalisasi, ataukah koperasi yang mampu menembus pasar ekonomi terbuka, alih-alih tak sekadar unit simpan pinjam. Celakanya, hinggi kini saya juga belum mendapat gambaran konkret koperasi modern yang dimaksud, yang kemudian mengemuka adalah inisiasi koperasi multi pihak yang konsepnya nyaris tidak membumi di sini.

Boleh jadi kita memang miris dengan karut marut perkoperasian, tetapi pada akhirnya saya setuju dengan pemikiran yang pernah dilontarkan Subiakto Tjakrawerdaya. Bahwa sejatinya koperasi itu adalah  agen pembangunan (agent of development). Koperasi di negeri kita tidak sekadar mengedepankan people based association tetapi diberikan peran strategis dalam pembangunan yakni sebagai sarana untuk pengentasan kemiskinan. Apakah Menteri koperasi berikutnya mampu menangkap pesan-pesan sejarah seperti ini, atau tetap membiarkan organisasi koperasi terus terpecah belah. Seperti pembiaran terhadap Dekopin. Wallahualam bisawab.

pasang iklan di sini