
Peluang news, Jakarta – Meskipun telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tak kunjung rampung hingga saat ini.
Ada banyak pihak yang turut menanggapi terkait RUU ini, salah satunya yaitu Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.
Pengamat Ekonomi Kerakyatan UGM, Revrisond Baswir mengatakan, pihaknya mendukung agar RUU Perkoperasian segera dibahas dan dirampungkan.
Hal ini dikarenakan, menurutnya, Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) juga telah mendesak agar Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi (LPK) segera dibentuk dalam waktu dekat. Revrisond turut mendukung dibentuknya lembaga tersebut.
“Pembentukan lembaga tersebut akan menjadikan industri usaha simpan pinjam koperasi menjadi lebih kokoh dan sehat,” kata Revrisond dalam keterangannya, Kamis (14/12/2023).
“Bukan hanya bagi KemenKopUKM, tetapi juga untuk seluruh gerakan koperasi di Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Revrisond, lembaga tersebut akan berperan besar dalam memberi arah pengembangan industri usaha simpan pinjam yang lebih jelas ke depannya.
Apalagi, reformasi usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia juga bukan pekerjaan yang bisa langsung diselesaikan dalam waktu singkat.
“Jadi, untuk menata kembali industri simpan pinjam, maka harus dibuat peta jalan yang jelas kemana arahnya sehingga tidak tambal sulam,” ucapnya.
Lebih lanjut, Revrisond menerangkan, rasio jumlah pelaku dan anggota di tingkat global itu 1 banding 3.000.
Artinya, 1 KSP melayani 3.000 anggota. Dari data yang ada, Indonesia baru mencapai rasio 1 banding 500, jadi masih jauh dari rata-rata global.
Oleh karena itu, ia berharap agar lembaga tersebut nantinya bisa mendorong konsolidasi usaha simpan pinjam, sebagaimana pengalaman di Kanada yang telah berhasil mengonsolidasikan ribuan koperasi, yang saat ini telah menjadi 458 koperasi kredit.
Hal ini sebanding atau sama seperti yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan mengonsolidasi para pelaku keuangan di tanah air.
Akademisi UGM tersebut mendesak agar DPR dapat segera merampungkan pembahasan RUU Perkoperasian.
Sebab, tidak mungkin untuk mereformasi koperasi di Indonesia secara sistemik apabila belum ada reformasi regulasinya.
“Koperasi ini entitas yang disebut dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33, sehingga harus menjadi concern para legislator,” tegasnya.
Deputi Perkoperasian KemenkopUKM, Ahmad Zabadi menambahkan, banyak pelaku industri keuangan yang masuk ke dalam usaha simpan pinjam dengan memanfaatkan loop hole dari kemudahan perizinan serta lemahnya pengawasan di koperasi.
Menurut Zabadi, hal tersebut akan lebih efektif dengan adanya Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi.
Selain itu, pemberian izin usaha simpan pinjam yang terpusat di lembaga itu juga nantinya dapat menyaring, mana koperasi yang didirikan berbasis nilai dan prinsip koperasi, dan mana yang hanya memanfaatkan badan hukum koperasi.
“Dengan adanya lembaga tersebut, maka pengawasan akan semakin efektif dan menghilangkan arbitrase regulasi dalam pengawasan simpan pinjam dengan industri keuangan. Kita desain agar lembaga ini benar-benar menjadi ujung tombak purifikasi (pemurnian) usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia,” tuturnya.