hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Akumulasi Dampak Berantai Pascakenaikan PPN

Naasnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, dan kelompok kelas menengah sebesar Rp354.293 per bulan.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menkeu Sri Mulyani kompak menenangkan masyarakat yang resah. Keduanya menyebut barang pokok seperti daging, telur, ikan, dan susu bakal bebas dari pungutan jumbo itu. Jasa pendidikan, kesehatan, keuangan, tenaga kerja, asuransi, dan pemakaian air juga tak kena PPN 12 persen. Kendati, tepung terigu, gula industri, dan Minyakita tetap dipungut pajak, yang selisih kenaikan 1 persennya ditanggung pemerintah.

Dua sektor utama otomatis bakal terdampak serius. Pertama, sektor properti. Kedua, industri otomotif. “Secara umum, pembeli kedua sektor tersebut merupakan konsumen akhir. Dengan demikian, mereka menjadi penanggung PPN,” ujar Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono. Efek domino dapat terjadi di ekosistem dari kedua sektor tersebut sehingga dampaknya akan lebih luas.

Seberapa seriuskah dampak itu? Prianto berikan contoh hitungan sederhana yang bakal dirasakan langsung oleh masyarakat. Dia menggunakan pemisalan pembelian barang yang tetap dipungut pajak. Contohnya, seseorang bernama Badu mempunyai uang Rp1 juta. Ia ingin membeli produk yang harganya Rp100 ribu per unit.

Jika tarif PPN tetap 11 persen, Badu bisa membeli 9 unit produk tersebut.
(Rp100 ribu+Rp11 ribu) X 9 unit= Rp999 ribu. Badu pun masih punya uang kembalian Rp1.000.

Ketika PPN dinaikkan menjadi 12 persen, Badu cuma bisa membeli produk incarannya sebanyak 8 unit. (Rp100 ribu+Rp12 ribu) X 8 unit= Rp896 ribu. Uang Rp1 juta miliknya memang masih tersisa Rp104 ribu, tapi tak bisa dipakai membeli 1 unit produk lagi seharga Rp112 ribu (yang sudah termasuk PPN 12 persen).

Asbun dengan berdalih pada amanat UU Nomor 42 Tahun 2009 sebagai landasan kenaikan PPN, pemerintah dikritik keras Center of Economic and Law Studies (Celios). Soalnya, klaim pemerintah membebaskan PPN untuk bahan pokok sudah lama diatur dalam UU tersebut. Apa yang ditunjukkan kepada publik saat ini dianggap hanya manuver politik demi meredam kritik. Kenyataannya, tarif PPN tetap dinaikkan serta menyasar sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.

“Kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara itu, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan. Hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan,” tutur Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar.

Media menegaskan Menteri Sri Mulyani hanya bermain kata. Seakan-akan pemerintah hadir mendukung kebijakan progresif dengan mengecualikan semua barang pokok dari pungutan pajak. Padahal, kebijakan semacam itu sudah ada sejak 2009 lalu. Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, mewanti-wanti peluang terkondisinya ancaman perlambatan ekonomi. Ia menegaskan hal ini terjadi karena (penerapan) pengecualian PPN bukanlah barang baru; sedangkan di sisi lain pemerintah konsisten memungut pajak dari konsumsi harian masyarakat.

Jika ditelaah secara cermat, kelas atas tentu saja tak terlalu terpengaruh dengan kebijakan ini. Akan tetapi, tidak demikian halnya buat kelas menengah, yang amat berat memikul dampaknya. Dwi Raihan menyebut, barang dan jasa yang dikonsumsi kelompok ini tetap dipungut PPN 12 persen berpotensi menggerus konsumsi; sedangkan di lain sisi pendapatan kaum menengah mandek dengan kenaikan yang tak memadai mengejar efek berantai kenaikan PPN.●(M. Iqbal)

pasang iklan di sini