Siapa peduli? Agaknya itulah jawaban cuek terhadap data-data miring mengenai begitu banyaknya koperasi tidak menggelar RAT. Pemerintah hanya bisa mengimbau tetapi tetap saja membiarkan koperasi tidak melanggar peraturan. Law enforcement memang lemah
Menyisir sejumlah koprim berkinerja unggul di lingkungan kantor pemerintahan di Jakarta bak mencari benang di atas tumpukan jerami. Sejak April hingga Sepember lalu tim riset Majalah Peluang bekerjasama dengan PKPRI DKI Jakarta melakukan kunjungan ke sejumlah koprim guna dapat menampilkan koprim yang layak menerima penghargaan ‘100 Terbaik’. Dari 314 koprim anggota PKPRI DKI Jakarta ditengarai hanya 50 persen yang melakukan tertib organisasi, artinya membayar iuran anggota, berpartisipasi terhadap layanan koperasi dan menggelar RAT tepat waktu. Sementara sisa koprim lainnya, mengalami masalah bervariasi, ada koprim yang anjlok karena terdampak pandemi covid-19 sehingga tidak bisa menggelar RAT, tetapi ada pula koprim yang sudah bertahun-tahun beku usaha alias hanya tinggal papan nama. Data lainnya, sebanyak 31 koprim membubarkan diri.
“Sebenarnya kami sudah berulang kali menyampaikan kepada pengurus koperasi agar segera menggelar RAT, karena toleransi RAT paling lambat hingga bulan Maret. Namun selalu dijawab nanti saja, karena para pengurus masih sibuk dengan urusan kedinasan di pemerintahan,” kata seorang pengelola koprim saat dikunjungi Majalah Peluang, akhir Agustus 2022 lalu. Koprim yang berada di kawasan elit pemerintahan di kawasan Tugu Monas itu cukup baik. Selain mengandalkan usaha simpan pinjam, koprim ini membuka usaha minimarket dengan ruang cukup luas, sekitar 200 meter persegi. Sejak dua tahun terakhir, kata pengelola -meminta namanya dirahasiakan- koperasinya tidak menggelar RAT lantaran kesibukan para pengurus dalam pekerjaannya di pemerintahan. Namun demikian usaha koperasi tetap berjalan karena adanya tenaga pengelola yang dibayar secara profesional. Masalahnya, ketika koperasi tidak RAT, lalu bagaimana dengan hak anggota yang tidak hanya wajib mendapat SHU tetapi juga berhak mengontrol jalannya usaha koperasi. Ini memang pertanyaan konyol jika acuannya adalah koperasi primer pegawai pemerintah, yang senyatanya lebih hormat pada pimpinan ketimbang sekadar menggelar urusan RAT yang (mungkin) dinilai sepele.
Selama enam bulan melakukan pengamatan dan kunjungan ke sejumlah kantor pemerintahan, harus diakui bahwa koprim yang berada di lingkungan tersebut umumnya berkinerja pas-pasan. Dari 314 koprim, setengahnya atau 50 persen tidak melakukan RAT atau mungkin saja tidak melapor ke induk organisasinya.
Jumlah yang juga cukup mengkhawatirkan adalah keragaan koperasi di Provinsi DKI Jakarta. Berdasar data terkini Kemenkop UKM, dari total 4.542 unit koperasi, hanya 1.037 yang tercatat sudah RAT Tahun Buku 2021. Sisanya, 3.502 atau 77,2 persen tidak atau belum lapor RAT. Masih mengacu data yang sama secara nasional jumlah koperasi tidak RAT juga cukup parah. Dari 127.846 koperasi aktif yang terdaftar secara nasional, hanya 47,506 atau 37,1 persen menggelar RAT. Sisanya, 80,340 koperasi ditengarai tidak RAT.
Kita berprasangka baik sajalah bahwa angka-angka menyedihkan ini tidak lepas dari beban pandemi covid-19 yang menghantam perekonomian di dua tahun terakhir ini. Pada penjelasan keragaan data per tahun buku 2021, masih bersifat sementara dan masih memungkinkan masuknya data baru dari dinas koperasi provinsi, kabupaten dan kota yang membidangi perkoperasian.
Jika di tarik ke belakang, dari tahun ke tahun koperasi tidak RAT jumlahnya terus meningkat. Saking banyaknya koperasi tak taat azas tersebut pada tahun 2016 Menteri Koperasi UKM AAGN Puspayoga -kala itu- memangkas 62 ribu koperasi papan nama, sehingga jumlahnya menurun dari 209 ribu hanya tinggal di kisaran 147 ribu unit.
Di era Teten Masduki kini, jumlah koperasi cenderung turun karena pemerintah memang ingin menggiring koperasi semakin modern, milenial dan mampu masuk pergulatan pasar nasional. Diskresi tersebut disusul dengan terbitnya sejumlah peraturan, antara lain Permendagri No 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah dan PP No 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah. Kedua peraturan ini memberi kesempatan sama bagi koperasi untuk mengikuti tender proyek pemerintah dengan nilai hingga Rp15 miliar.
Lalu apa yang menyebabkan koperasi sulit menggelar RAT. Praktisi perkoperasian Kamaruddin Batubara, menengarai jika koperasi didirikan atas kehendak bersama anggota, suka rela dan komitmen berpartisipasi, maka koperasi pasti RAT karena diawasi oleh anggota. Menurutnya ada tiga sebab koperasi tidak RAT, pertama, pengurus dan anggota tidak paham berkoperasi. Kedua, tidak mau bayar pajak dan ketiga biaya RAT yang dinilai cukup mahal.
Senada dengan Kamaruddin, pengamat perkoperasian Dewi Tenty menilai jika koperasi tidak menggelar RAT, sebenarnya sudah kehilangan jati diri sebagai subjek hukum. “RAT ya wajib lah, karena selain menjadi organ tertinggi dari badan hukum koperasi, juga merupakan wadah bagi anggota untuk menunjukan keberadaannya sebagai pemilik dan pengguna,” ujarnya. Jika menilik banyaknya koperasi tidak RAT, menurut Dewi yang juga notaris perkoperasian ini, ada yang salah dengan pembina dan pengawas koperasi baik di tingkat pusat maupun daerah. “Jika tidak RAT dengan alasan pandemi, mestinya dibantu menggunakan teknologi yang dapat menunjang digelarnya RAT secara elektronik. Koperasi di DKI Jakarta justru harus menjadi barometer bagi pelaksanaan RAT elektronik mengingat kemudahan infrastruktur jaringan digital yang pastinya lebih baik daripada di daerah lain,” tukasnya.