hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Berita  

YLBHI Anggap Penerbitan PERPPU Ugal-Ugalan

Jakarta – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 dianggap bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.

“Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa, dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK,” kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur, dalam siaran persnya, Minggu (1/1/2022) lalu.

Menurut dia, Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.

“Penerbitan PERPPU ini jelas tidak memenuhi syarat diterbitkannya PERPPU yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa,” ungkap Isnur sapaan akrabnya.

Dia menjelaskan, Presiden seharusnya mengeluarkan PERPPU Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat. Tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review.

Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, menurut Isnur, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan PERPPU. Perintah Mahkamah Konstitusi jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan PERPPU.

“Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan PERPPU ini,” tegas Isnur.

Alasan kekosongan hukum menurutnya, juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi dimana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga melarang Pemerintah membentuk Peraturan-peraturan turunan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat. Tetapi dalam perjalanannya Pemerintah terus membentuk peraturan turunan tersebut.

“Penerbitan PERPPU UU Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal,” ucap Isnur.

Dia menduga, penerbitan PERPPU ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan. Penerbitan PERPPU ini semakin melengkapi ugal-ugalan Pemerintah dalam membuat kebijakan seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU MK, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain.

Penerbitan di ujung tahun, menurut Isnur juga menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki ada reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan masyarakat sedang dalam liburan akhir tahun.

Maka, atas penerbitan PERPPU tersebut YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mengecam penerbitan PERPPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja;
  2. Menuntut Presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK;
  3. Menarik kembali PERPPU No. 2 Tahun 2022;
  4. Menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap Konstitusi.
  5. Mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia.
pasang iklan di sini