JAKARTA—–Tiga puluh tahun sudah pakar tata kota Yayat Supriatna menggunakan transportasi umum dari kediamannya di Bogor menuju tempat dia bekerja di Fakultas Teknik Universitas Trisakti. Dia mengendarai sepeda motor ke stasiun kereta api dan memarkirnya di sana.
Dari stasiun Bogor alumni Magister Plannologi ITB ini menumpang kereta komuter. Saat inibiaya dikeluarkan Yayat Rp6.000 dan dia turun di Djuanda.
Dari Stasiun Djuanda, dia meneruskan perjalanan dengan TransJakarta ke tempatnya bekerja dengan biaya Rp3.500. Total sehari ia menghabiskan Rp20 ribu per hari. Kalau dia bekerja 25 hari dia hanya menghabiskan Rp500 ribu.
“Biaya transportasi itu seharusnya tidak boleh dari 10 persen penghasilan. Di Indonesia biaya transportasi menurut penelitian 2013 sekitar 40 persen penghasilan. Kalau di Singapura 3-4 persen. China itu 7 persen,” ujar Yayat ketika dihubungi Peluang, beberapa waktu lalu.
Itu sebabnya ketika ditanya soal kehadiran Moda Raya Transportasi (MRT) bagi orang Jakarta yang berpenghasilan Rp10 juta ke atas, harga tiket maksimal hingga Rp14 ribu dari Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia tidaklah menjadi masalah.
“Kalau menuju MRT naik trans Rp3500 ditambah Rp14 ribu untuk sampai HI Rp17.500, pulang pergi Rp35 ribu kali 25 hari kerja maka jatuhnya sekitar Rp875 ribu. Tidak sampai 10 persen dari penghasilan. Bagi orang Jakarta, waktu itu berharga dan mereka bersedia membayar berapa saja untuk waktu. Kalau dengan mobil bisa sampai dua jam, maka dengan MRT 30 menit, opportunity besar,” ungkap Yayat.
Namun tutur Yayat lagi bagi yang penghasilan kecil, UMP hingga Rp5 juta atau melampaui 10 persen penghasilan, mereka akan memilih naik sepeda motor. Dengan bensin dua liter bisa digunakan untuk tiga hari. Walau parkir mereka bayar sekitar Rp6 ribu.
“Menurut BPS biaya terbesar itu transportasi, sewa rumah dan baru sembako. Bagi mereka transport itu harus murah,” ucap Yayat.
Itu sebabnya lanjut Yayat, selain MRT diperlukan moda transportasi yang terintegrasi Gubernur DK IJakarta pernah bilang suatu ketika dengan Rp5 ribu bisa ke mana-mana. Pulang-pergi Rp10 ribu, maka 25 hari kerja jatuhnya Rp250 ribu.
“Targetnya agar pada 2030 nanti 60 persen mobilitas di Jakarta dengan moda transportasi umum. Sekarang baru 20 persen dan kita dorong sampai 40 persen,” pungkas Yayat (Irvan Sjafari)