octa vaganza
Fokus  

Yang Layu Sebelum Berkembang

Digadang-gadang menjanjikan keuntungan, bisnis startup kini dalam bayang-bayang ditinggalkan.  

Awalnya, bisnis ini bak jamur di musim hujan, tumbuh subur. Namun, pandemi Covid-19  telah mengubah segalanya. Ekspektasi pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan menggiurkan  pupus. Pandemi menghantam perekonomian dunia juga Indonesia. Cukup banyak bisnis startup mandeg di tengah jalan, bahkan tidak sedikit pula yang gulung tikar. Airy, startup online travel agency (OTA), misalnya, sejak 31 Mei lalu ditutup. Merosotnya bisnis travel mengakibatkan pemberhentian operasional secara permanen.

 Awalnya decak kagum banyak tertuju ke bisnis startup, dengan keunggulan inovasinya yang mampu mengubah dinamika perniagaan. Beberapa diantaranya bahkan telah berkembang jadi perusahaan raksasa. Nama besar Gojek tentu menjadi acuan utama kesuksesan startup di dalam negeri. Perusahaan Nadiem Makarim ini sukses menyabet gelar startup decacorn pertama di Indonesia. Meski begitu, tidak semua startup bernasib seperti Gojek. Banyak yang tidak mampu bertahan dalam ketatnya persaingan. Kegagalan startup untuk bertahan memiliki sejumlah faktor penyebab.

1. Pasar Menentukan

Startup menghadirkan inovasi bisnis yang dikombinasikan dengan teknologi canggih. Namun, keputusan pasar tetap yang menentukan untung ruginya. Sebab, tidak semua produk inovasi perusahaan rintisan menguntungkan secara bisnis. Ketidaksesuaian kebutuhan pasar dan produk startup pulalah yang menjadi alasan Qlapa gulung tikar. Startup lokal ini adalah marketplace bagi produk kerajinan tangan Indonesia. Beroperasi sejak 2015, bisnis ini sempat mencuat lantaran meraih penghargaan sebagai aplikasi unik dari Google Play Award pada 2018. Qlapa juga digadang-gadang bakal bertransformasi jadi startup raksasa karena masuk jajaran paling menjanjikan versi Forbes Asia. Misi Qlapa memberdayakan perajin lokal terpaksa harus kandas lantaran bisnisnya tidak berprospek lagi. Ketatnya persaingan e-commerce juga membuat Qlapa kian terpuruk dan resmi menutup layanannya pada Maret 2019.

2. Kehabisan Dana

Sebagai perusahaan yang baru memulai bisnis, tidak heran banyak startup yang memerlukan ongkos lebih dalam mengembangkan produknya. Startup juga ditopang oleh kehadiran investor yang menyediakan dana segar untuk mengembangkan produknya. Kehabisan dana merupakan salah satu imbas cash burn rate atau bakar uang yang tidak tepat. Alih-alih mendapatkan keuntungan, beberapa startup justru ‘sedot’ habis dana investor hingga akhirnya mengalami kebangkrutan. Ketidakmampuan mengelola dana investor ini yang membuat JawBone, startup produsen alat elektronik bangkrut pada 2017. Padahal, JawBone pernah meraih predikat “unicorn” setelah nilai valuasinya 3,2 miliar dolar AS. Tidak hanya itu, startup bahkan telah mendapat pendanaan dari beberapa venture capital seperti Khosla Venture, Sequoia Capital, dan Kleiner Perkins Caufield & Byers. Tetapi, akibat sering ‘bakar duit’, kebangkrutan JawBone pun tidak bisa dihindari.

3. Struktur Tim tidak Tepat

Tim dengan berbagai keahlian mutlak diperlukan dalam mengembangkan startup. Dengan tim yang kuat dan tepat, stabilitas perusahaan lebih terjaga. Tetapi Zirtual, startup virtual assistant melakukan blunder karena ketimpangan struktur tim. Startup ini gagal mengelola keuangan dan bisnis akibat tidak menempatkan Chief Financial Officer (CFO) di tubuh perusahaannya. Pengelolaan keuangan yang buruk itu, diakui oleh Maren Kate Donovan, CEO dari Zirtual, membuat adanya ketidakseimbangan aspek bisnis dan teknologi. Akibatnya, Zirtual melakukan PHK massal hingga operasional terhenti. Hingga akhirnya, Zirtual diambil-alih startup launch platform bernama startups.co 2015 lalu.

4. Kalah Bersaing

Disrupsi sering kali terjadi dalam dunia startup. Kehadiran startup di sektor yang sama tidak jarang membuat persaingan antarperusahaan tidak dapat dapat dihindarkan. Di Indonesia sendiri, startup di sektor transportasi jadi salah satu yang paling banyak ‘memakan korban’. Di sektor itu, Grab dan Gojek jadi startup yang mendisrupsi bisnis transportasi. Sebelum dikuasai Gojek dan Grab, beberapa startup ini sempat eksis. Mereka Uber, Ojekkoe, Topjek, Taxi Motor, Ladyjek, BluJek, dan Smartjek. Perusahaan itu harus gulung tikar karena Gojek dan Grab kerap ‘bakar duit’ besar-besaran. Selain itu, nama-nama investor ujian membuat Gojek dan Grab lebih stabil secara pendanaan.

5. Penentuan Harga

Selain produk yang dibutuhkan pasar, bisnis startup harus cermat dalam menentukan harga dan produknya. Kesulitan dalam menentukan harga produk ini juga yang dapat membuat startup tumbang, bahkan sebelum produknya bisa berkembang. Meski dapat selamat dari kebangkrutan, tapi startup music streaming Spotify butuh waktu 13 tahun untuk catatkan laba operasional.

Lain hal dengan Arivale, personal health startup yang harus tutup akibat biaya langganan pengguna yang lebih rendah daripada biaya penyediaan langganan. Hingga akhirnya pada April 2019, Arivale harus menutup layanannya secara permanen. Lima alasan kegagalan di atas jadi bukti membangun startup bukanlah mudah. Miliki teknologi yang canggih dan inovasi brilian bukan menjadi jaminan kesuksesan startup.

Exit mobile version