octa vaganza
Fokus  

Waspadai Antusiasme Sambut Startup Unicorn

Perusahaan rintisan (startup) digital dapat menciptakan risiko sistemik pada perekonomian jika tak mengubah pola bisnis yang hanya bergantung pada kenaikan gross merchandise volume.

BERALIHNYA sistem konvesional ke Online Travel Agent (OTA) membuat masyarakat mulai yakin akan kemudahan dalam mobilitas dan aktivitas keseharian. Dengan layanan berbasis online, biaya admin atau jasa dapat dipangkas dalam jumlah yang cukup signifikan.

Perkembangan ini terjadi karena tingginya penggunaan internet dan perangkat telepon pintar. Dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika diketahui ada 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta pengguna smartphone, yang terus bertambah. “Data yang diproyeksikan McKinsey & Co, nilai pasar e-commerce Indonesia akan mencapai US$65 miliar/Rp910 triliun pada 2022. Angka tersebut naik delapan kali lipat dibanding tahun 2017 yang nilainya US$8 miliar/Rp112 triliun,” kata Ketua Bidang Pendidikan LSKE Kadin Indonesia, Bayu Prawira.

Hasil survai Lembaga Demografi UI menginformasikan, Gojek berkontribusi Rp8,2 triliun per tahun ke dalam perekonomian nasional, melalui penghasilan mitra driver yang terdaftar. Survai menggunakan 7.500-an responden dari sembilan wilayah: Bandung, Bali, Balikpapan, Jabodetabek, DIY, Makassar, Medan, Pelembang, dan Surabaya.

Gojek adalah salah satu unicorn. Inilah titel untuk perusahaan rintisan yang memiliki nilai valuasi (nilai suatu startup, bukan sekadar pendanaan yang dikucurkan investor) di atas US$1 miliar. Lima buah startup—Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan Ovo—telah kini mencapai posisi finansial tersebut.

Meski bukan yang pertama, Traveloka menjadi yang tercepat meraih predikat perusahaan “unicorn” dalam rentang 5 (lima) tahun setelah berdiri. Sedangkan Gojek dan Tokopedia meraihnya dalam waktu 6 (enam) tahun untuk menjadi startup unicorn pertama dan kedua asal Indonesia. Terakhir BukaLapak menjadi startup unicorn keempat asal Indonesia.

Salah satu poin positif kehadiran investor asing di startup unicorn adalah kebijakan subsidi yang mereka lakukan. Kebijakan ini menguntungkan masyarakat karena dapat biaya murah. “Pertanyaannya berapa tahun [kuatnya] atau sampai kapan mereka ‘bakar uang’ untuk beri subsidi,” ujar Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja.

Keberadaan dan peran startup unicorn di Indonesia, menurut Peneliti Indef, Bhima Yudistira, belum maksimal. Sebut saja dari penyerapan tenaga kerja semi skilled dan high skilled. Startup Gojek memang banyak menyerap jutaan driver online, tapi ini masuk kategori low skilled atau mengerjakan pekerjaan yang sederhana.

“SDM high skilled startup di Indonesia masih dihuni tenaga kerja asing atau outsourcing ke negara lain. Contohnya Gojek, dimana pengembangan IT dilakukan sebagian di Kota Bangalore, India,” ujar Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira. Bahkan suntikan dana tersebut harus diantisipasi. Dengan skill SDM di Indonesia sebagai permasalahan utama, kita belum memenuhi syarat untuk berkompetisi di dunia ekonomi digital.”

Realitasnya, banyak tenaga kerja yang bergantung pada startup e-commerce atau transportasi online. Apabila likuiditas perusahaan menurun hingga bangkrut, maka para pekerja yang bergantung pada perusahaan-perusahaan di sektor digital itu bakal menjadi pengangguran. Startup unicorn memang mengandalkan modal asing yang jumlahnya cukup dominan untuk menjalankan bisnisnya. “Ketika masuk modal asing, maka kedaulatan data, dan produk yang ada di startup berisiko menjadi tergadaikan,” ujar Bima.

Sejumlah kalangan mengkritisi unicorn yang lahir dan berkembang di Indonesia itu justru kini dikuasai oleh asing. Kepemilikan modal pihak lokal sejauh ini sangat kecil. Kalau unicorn ini besar, dan kepemilikannya bukan dimiliki oleh orang dalam negeri, maka nanti dividen (pembagian laba pemegang saham) mengalir ke luar negeri,” ujar Sandi Uno.

Sekitar dua tahun lalu ketika, sebagian saham belum dimiliki asing, mitra Gojek (istilah untuk driver) masih mendapatkan bonus yang cukup besar. Pendapatan driver ojek online (daring) bisa mencapai setidaknya Rp8 juta per bulan. Bahkan ada yang mengantongi Rp12 juta per bulan. “Sekarang, untuk mendapatkan Rp4 juta harus bekerja hingga 12 jam dalam sehari,” katanya.

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai, “Tanpa perlindungan data yang kuat, era siber digital hanya akan menjadi seperti hutan rimba belantara. Dan seringkali persoalan data digital menghantui para pengguna, karena data pribadi mereka bisa bocor dan diakses oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung  jawab,” ujarnya.

Dari sisi neraca dagang, keberadaan startup yang didanai asing justru memperparah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan sekaligus. Startup khususnya yang bergerak di bidang e-commerce berkontribusi terhadap naiknya impor barang konsumsi. Tahun 2018, impor barang konsumsi naik 22%, padahal konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5%. Ini anomali pertama. “Dampak negatif lainnya, pemanfaatan data pribadi untk pemasaran atau market intelligence. Dengan gunakan big data, mereka bisa petakan perilaku konsumen Indonesia untuk memasarkan produk dari perusahaan lain yang terafiliasi,” ujar Sukamta.

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengingatkan perusahaan rintisan (startup) digital dapat menciptakan risiko sistemik pada perekonomian jika tak mengubah pola bisnis yang hanya bergantung pada kenaikan gross merchandise volume (GMV). “Kalau suatu hari terjadi resesi global, sumber pendanaan akan menurun dan kalau tiba-tiba tidak berhasil mendapat pendanaan, tidak bisa ‘membakar uang’, ini risikonya akan sistemik,” kata ChatibBasri.●(dd)

Exit mobile version