SLEMAN––Erupsi Gunung Merapi pada 2010 membuat kebun kopi milik Sumidjo yang cukup lama dia kelola. Selain itu bencana merapi menghancurkan rumah kediamannya. Namun kecintaannya pada kopi memberikannya semangat untuk kembali bangkit.
Dia kemudian memutuskan membuka usaha Warung Kopi Merapi. Dengan modal dari pinjaman uang temannya sebesar Rp3 juta, serta sisa material dan kayu dari sisa rumahnya yang hancur, Sumidjo membangun sebuah warung kopi di Kampung Petung, Kepuhardjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta pada 2012. Jaraknya 4 kilometer dari Puncak Merapi.
“Kami buka warung kopi merapi pada 17 November 2012 , awalnya tempat duduk berkapasitas sekitar 10 orang,” ujar Sumidjo kepada Peluang, Rabu (18/7/2018).
Kopi yang digunakan selain berasal dari kebun yang dimiliki juga menggandeng petani kopi lainnya di wilayah itu. Para petani ini anggota Koperasi Kebun Makmur Sleman. Koperasi ini berdiri pada 2004 dan berbadan hukum pada 2008.
“Kebetulan saya juga termasuk pendiri dan ketua koperasi,” ucap dia.
Menurut Sumidjo semula luas lahan sekitar 850 Ha. Sayangnya lahan yang cukup luas itu kena erupsi sekitar 90 persen. Setelah penanaman lagi sekarang luas lahan menjadi sekitar 250 Ha . Produksi kopi baru sekitar 30 ton per tahun.
Usaha Kopi Merapi ini menyerap banyak tenaga kerja. Warung kopi sendiri menyerap tenaga 19 orang , pengolahan sebanyak 10 orang dan petani kopi 800-an orang.
Usaha yang dikembangkan Sumidjo dan Koperasi Kebun Makmur membuahkan hasilnya. Pada 2018 Warung Kopi Merapi meruap omzet Rp100 juta per bulan dan pengolahan kopinya Rp40 juta per bulan. Pelanggan warung kopi berasal dari mahasiswa , keluarga , komunitas , wisatawan dalam dan luar negeri.
Harga kopi di warung dibandroll Rp5 hingga Rp9 ribu per gelas. Sementara untuk kopi per bungkus untuk Arabika 250 gram dijual Rp50 ribu, kopi Green Arabika dibandroll Rp100 ribu per kilogram.
Warung Kopi Merapi dalam sebuah pameran di ICE, Bumi serpong Damai, Juli 2018-Foto: Irvan Sjafari,Menurut Sumidjo pihaknya sedang mengembangkan eko wisata baru sedang dibangun , tapi yang berminat kunjungan ke kebun dan pengolahan sudah cukup banyak.
“Kopi kebanyakan kami jual disekitar Yogyakarta , tapi kalau ada permintaan dari luar daerah kami layani. Ekpor mulai ada permintaan , tapi sekarang mau menguatkan pasar lokal dulu,” ujar Sumidjo (Irvan Sjafari).