octa vaganza
Fokus  

Wacana Gugatan Lewat Class Action

Untuk ukuran banjir sehebat itu, yang viral di medsos dan dirilis berkesinambungan, beritanya sepi senyap di media mainstream. Tak lazim. Seperti ada udang di balik rempeyek, karena di wilayah ini tambang batu bara dan perkebunan sawit dibuka secara jor-joran.

PERTAMA kalinya dalam 50 tahun terakhir, banjir besar menggenang 10 kabupaten dan kota (dari total 11 kabupaten dan 2 kota) di Provinsi Kalimantan Selatan. Cakupan wilayah terpapar air bah sungguh dahsyat. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 17 Januari 2021 menginformasikan, setidaknya 24.379 rumah terendam banjir dan 39.549 warga mengungsi dan 15 orang meninggal.

Banjir yang sedemikian besar di dalam satu provinsi belum pernah terjadi. Bencana inilah yang menimpa Kalimantan Selatan, yang terjadi sejak hari Kamis tanggal 14 Januari 2021. Curah hujan yang sedemikian lebat di antara penyebab banjir besar ini terjadi. Qaddarulloh (semua atas takdir Allah) terjadi di saat masa krisis dan pandemi melanda negeri kita.

Para relawan Markaz Bersama Assunnah adalah gabungan lembaga-lembaga dakwah dan kemanusiaan. Terdiri dari yayasan-yayasan dan masjid dakwah sunnah, Masjid Imam Assyafi’I, Yayasan Al Umm, Yayasan Assa’adah, Radio Gema Madinah, Yayasan Intan Ilmu Banjarmasin. Assunah membuka posko di beberapa wilayah. Sekurangnya 6 titik di wilayah bencana, Banjar Baru, Mertapura, Barabai, Balangan, Banjarmasin, dan Tanah Laut.

Banjir besar ini terjadi secara tiba-tiba sehingga pemerintah setempat memerlukan uluran tangan seluruh kalangan masyarakat Indonesia untuk penanggulangannya. Banjir melanda 5 kabupaten dan lebih dari 20 ribu masyarakat terdampak. Korban jiwa berjatuhan, kerugian rumah, bangunan, masjid, sarana dan prasarana umum hancur dan rusak, demikian Ustadz Munajat, relawan dari Yayasan Al Umm, Banjar Baru, yang menampung 200-an pengungsi di Barabai yang dalam keadaan terisolir karena akses jalan putus, sarana transportasi tak ada.

Usut punya usut, banjir yang datang sekonyong-konyong itu bukan tanpa musabab. Itu jelas. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang /Jatam, Merah Johansyah, melihat unsur kelalaian pemerintah dalam menghentikan deforestasi dan suburnya tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit di Borneo. Sebagai catatan, Kalsel memiliki 553 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Non-CnC dan 236 IUP CnC.

Pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan berusaha atau konsesi di Kalimantan masih terjadi di era Presiden Joko Widodo. Merespons pernyataan Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, “Tidak benar selama periode Jokowi tidak melepaskan kawasan hutan di Kalimantan,” kata Koordinator Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/Walhi Nasional, Edo Rakhman.

Mengacu pada rekapitulasi data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah dilakukan pelepasan kawasan hutan seluas 418.750 ha untuk konsesi kelapa sawit dan 99 ha untuk pabrik kelapa sawit selama 2014-2019. Angka tersebut menambah total pelepasan kawasan hutan di Kalimantan menjadi 427.952 ha dalam kurun waktu 5 tahun. Pelepasan dilakukan juga untuk pembangunan bandara, kampus, komoditas karet, pelabuhan, pembangunan pabrik, percetakan lahan pertanian, peternakan, terminal dan gudang.

Sejalan dengan itu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, hingga awal 2019, KLHK telah menerbitkan 651 Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dengan total luas 474.859 ha. Izin ini salah satunya digunakan untuk pertambangan. Adapun luas lahan yang sudah direklamasi baru mencapai 27.493 ha.

Mengutip Buku Basis Data Spasial Kehutanan KLHK 2019, terdapat total 10,2 juta ha kawasan hutan yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) di Kalimantan. Sedangkan pada 2014 luasnya mencapai 12,5 juta ha, belum termasuk Kalimantan Utara. Sedangkan dalam Buku 2014 tidak mencantumkan luas izin pada kawasan hutan di sana.

PEMERINTAH semestinya berani mengevaluasi izin-izin tambang dan perkebunan sawit di Kalsel. Lalu memberi sanksi bagi korporasi (sesuai Pasal 79 dalam UU Kebencanaan) berupa pidana penjara dan denda hingga pencabutan izin usaha.

Atas pembiaran itu, ujar Merah Johansyah, masyarakat bisa menggugat pemerintah. Johansyah merujuk pada UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, sesuai dengan Pasal 71, pemerintah pusat dan daerah semestinya melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penanggulangan bencana. Meliputi kebijakan pembangunan yang bisa mengakibatkan bencana, kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana, kegiatan konservasi lingkungan, perencanaan penataan ruang, dan pengelolaan lingkungan hidup.

Terkait kebencanaan dan lingkungan hidup, masyarakat bisa bersandar pada UU HAM, UU Lingkungan Hidup, KUH Perdata, dan UU Administrasi Pemerintah. “Dalam hukum sekarang berkembang mekanisme gugatan class action misalnya, warga bisa menggugat melalui perwakilan kelompok, atau melalui citizen law suit,” ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur.

“Pemerintah layak digugat dan disanksi karena menyebabkan bencana lewat kebijakannya menerbitkan izin tambang,” ujarnya. Pendapat yang sama diutarakan Staf Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, M. Jefry Raharja. Warga yang merasa merugi akibat bencana banjir selayaknya menggugat pemerintah. Di hulu terkait perizinan industri ekstraktif dan di hilir soal disaster management sampai emergency response.

Gugatan class action di Indonesia ada pada sejumlah undang-undang. Semisal UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen hingga UU Kehutanan yang terbit 1999.

Mahkamah Agung mengatur konsep class action melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 (PERMA 1/2002). Pasal 1 PERMA 1/2002 mendefinisikan gugatan class action sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

Dalam gugatan class action, penggugat harus mengalami kerugian secara langsung akibat perbuatan oleh tergugat atau pemerintah. Nantinya, berbagai kerugian itu akan dikelompokkan ke dalam kelas-kelas dan dimasukkan ke dalam berkas gugatan.

Dalam hal citizen law suit, penggugat tidak mesti memiliki hubungan sebab akibat dengan perbuatan pemerintah. Dengan demikian, penggugat tak bisa mengajukan ganti rugi. Dalam menggugat, menurut Isnur, masyarakat bisa menentukan target gugatan. Misalnya, menuntut ganti rugi atau perubahan kebijakan. “Masyarakat perlu mempersiapkan semua yang dibutuhkan dalam prosedur hukum: gugatan, bukti-bukti, dan dalil,” ujarnya.

Kelompok masyarakat sipil pernah juga menggugat Presiden RI, Menteri LHK, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan DPRD Kalimantan Tengah; lantaran kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Pada 22 Maret 2017, hakim PN Palangkaraya menyatakan tergugat bersalah.●

Exit mobile version