Lantaran pribumi sulit membaca nama Frits Homerus Vlekkenbaaij, maka jadilah Belanda totok itu dipanggil Plikemboh. Tak hanya pejabat tertingggi di pabrik gula Tulangan Sidoarjo. Di hari pertama memimpin sudah tercium aroma kuasa yang bengis berbau rasis. Lagaknya bak Bung Besar dalam Novel : Nineteen Eighty-four, George Orwell, sebuah satire tentang penguasa yang membohongi dan mengontrol ketat rakyatnya. Plikemboh, sang Tuan Besar Kuasa Administratur tak hanya menguasai pabrik gula, ia mengontol segala sendi kehidupan karyawan hingga masyarakat sekitarnya, Tulangan.
Maka ketika syahwatnya bergolak melihat anak gadis kesayangan Sastro Kassier, juru bayar di pabrik gula yang ia pimpin, sama artinya gadis ranum berangkat dewasa bernama Surati itu sudah harus siap diantar ke atas ranjangnya. Jika nasibnya baik, Surati bisa diambil sebagai Nyai. Tapi Surati tak sudi bernasib buruk seperti bibinya, Sanikem alias Nyai Ontosoroh yang juga dijual ayahnya kepada Tuan Besar Administratur Belanda, Herman Mellema di Wonokromo.
Surati menolak dengan perlawanan yang diam namun dahsyat. Suatu malam sebelum menjadi objek birahi Plikemboh, Surati memasuki sebuah desa tertutup yang dilanda wabah cacar. Tahun itu, Jawa Timur tengah dilanda wabah aneh yang mematikan, puluhan desa berikut penduduk terdampak wabah dibakar Kompeni guna memutus penyebaran virus.
Dengan menerobos tumpukan bangkai dan gelimpangan mayat membusuk, Surati memasuki sebuah desa yang akan dibakar itu. Ia tinggal dua hari tiga malam di situ, sengaja membiarkan tubuhnya dimasuki virus. Ketika ia rasakan tubuhnya menggigil tanda demam mulai menyerang, ia segera memacu langkah menuju rumah Plikemboh yang menyambutnya penuh birahi. Tanpa ia sadari Surati ingin mengajaknya mati bersama.
Rencana Surati berjalan mulus, Plikemboh tewas di ranjangnya terserang virus dan sekaligus membebaskan masyarakat Tulangan yang sebelumnya hidup dalam intimidasinya.
Kisah tragis Surati yang ternyata selamat dari wabah cacar itu merupakan digresi dari buku Anak Semua Bangsa, roman kedua tetralogi Pulau Buru karya Pramudya Ananta Toer. Kedalaman Pramudya bertutur tentang kekuasaan kolonial yang maruk diimbangi dengan catatan pinggir yang luput dari perhatian kita, pandemi penyakit menular yang pernah melanda Hindia Belanda di awal abad 20.
Di rentang masa itu, sedikitnya berlangsung empat rentetan pandemi menyerang Jawa Timur dan merembet ke daerah lainnya. Ragam wabah yang muncul datang bergiliran mulai dari kolera (1901), pes (1910), cacar hingga flu spanyol (1920).
Wabah maut itu tidak hanya sulit disembuhkan tetapi juga karena keengganan penguasa kolonial yang menolak realitas virus yang bakal berefek pada berhentinya mesin-mesin pabrik. Bahkan para dokter Belanda memasang tarif mahal agar tak bisa dikunjungi pasien pribumi miskin. Seolah ada upaya genosida di balik munculnya virus.
Sikap abai terhadap nyawa manusia itu mengundang protes seorang dokter muda bernama Tjiptomangoenkoesomo. Dalam masa pembuangannya di Belanda, ia menuding sikap tidak bertanggungjawab pemerintah Hindia Belanda membiarkan beribu-ribu orang jatuh jadi korban pes. Ironisnya Belanda meyakini wabah maut itu akhirnya bakal berhenti dengan sendirinya.
Lantaran keberanian Tjipto yang jebolan STOVIA – datang ke Jawa Timur memberikan pengobatan dan membasmi pes tanpa masker dan alat pelindung diri – ia dianugerahi bintang emas Ridder in de Orde van Oranje Nassau, gelar keksatriaan dari kerajaan Belanda.
Hingga awal 2020 ketika Corona Virus Disease marak, kita nyaris tidak pernah mendengar istilah Pagebluk, virus mematikan yang merenggut nyawa 1,5 juta orang di Hindia Belanda yang mulai menjangkit dari Jawa Timur. Pemerintah kolonial menutup rapat info wabah maut itu. Bagi mereka jutaan manusia di Jawa boleh mati, tapi roda-roda ekonomi yang direpresentasikan melalui mesin-mesin pabrik gula harus terus hidup. Akankah begitu ?
(Irsyad Muchtar)