BPS mematok angka Rp387.160 per kapita per bulan untuk kategori miskin. Bank Dunia dua kali lipat itu: Rp 775.200. Program bantuan yang selama ini digulirkan, selain tidak maksimal, juga belum efektif menjawab persoalan.
RILIS Badan Pusat Statistik (BPS) Januari lalu menyatakan, angka kemiskinan Indonesia per September 2017 mencapai 26,58 juta orang. Angka tersebut turun dibanding periode sama 2016 yang mencapai 27,77 juta orang. Betulkah begitu? Masyarakat jadi terpancing mempersoalkan parameter ‘kemiskinan’ yang digunakan.
Di dalam negeri, lontroversi soal ini bukan cerita baru. Juga bukan fakta baru bahwa hitungan Bank Dunia menggunakan standar yang jauh lebih tinggi dari yang digunakan BPS. Dalam versi BPS, batas garis kemiskinan ditetapkan Rp387.160 per kapita per bulan. Angka itu identik dengan Rp12.905,33 per kapita per hari.
Di sisi lain, limitasi garis kemiskinan Bank Dunia adalah US$1,9/hari, atau setara Rp775.200/bulan (kurs 13.600). Jika diukur dengan standar Bank Dunia, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, memastikan total angka kemiskinan bisa lebih dari dua kali lipat. “Ya 70-an juta orang angka kemiskinannya, kalau garis kemiskinannya US$1,9/hari. Karena (jumlah orang) yang rentan miskin saja ada 40-an juta,” kata Enny.
Kendati demikian, bagi Enny, tak masalah Indonesia punya standar sendiri. Yang penting konsisten, dan angka yang ditetapkan benar-benar relevan mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Enny menyarankan, garis kemiskinan di Indonesia ditentukan berdasarkan pemenuhan kebutuhan kalori. Oleh sebab itu, BPS perlu memastikan bahwa garis kemiskinan yang ditentukan bisa memenuhi minimal kalori yang dibutuhkan seseorang (dewasa).
“Perlu diperhatikan bahwa kalori tidak hanya pemenuhan kuantitas, tapi juga kualitas. Kalau nasi saja tanpa protein kan minus asupan gizi. Kalau asupan kurang, rentan kesehatan. Dampaknya pada produktivitas, lalu pada penghasilan, ini sudah seperti lingkaran setan,” ujar Enny. Jika pun dikait-kaitkan dengan bantuan sporadis yang diberikan pemerintah, sederet program bantuan dianggap tidaklah maksimal dan belum bisa dikatakan efektif.
“Ini masalah yang serius. Untuk melihat tingkat efektivitas program-program tersebut sangat mudah. Dengan anggaran yang begitu besar, berapa kemiskinan yang sudah dientaskan,” ujar Enny. Ambil contoh bantuan beras sejahtera (rastra). Bukankah masih banyak ditemukan kasus dan keluhan bahwa beras tersebut tidak layak konsumsi? Hal lain, beras bantuan yang semestinya untuk dikonsumsi tersebut justru dijual oleh penerima.
Jika pun bicara tentang bantuan seperti Kartu Pendidikan, Kartu Indonesia Sehat, dan sebagainya, keadaannya sama sebangun. Enny melihat, bantuan tersebut tidak mencapai target maksimal. Termasuk bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH). “PKH sebenarnya ditujukan untuk keluarga miskin yang memiliki daya produksi, tetapi mereka terkendala oleh minimnya permodalan. Tapi, terutama karena data kependudukan kita amburadul, bantuan tersebut tidak terintegrasi, hingga tidak menjangkau masyarakat yang secara riil membutuhkan,” ujar Enny.●