octa vaganza

UTOPIA

Masih percayakah kita dengan ramalan? Kepiawaian membaca  yang bakal terjadi di masa depan. Bagi penganut agama Ibrahim tentu sulit, karena masa depan adalah sesuatu yang transenden. Tetapi seribu tahun lalu, Jayabaya, menorehkan sesuatu yang terasa aneh dan musykil terjadi di masa itu, prahu mlaku ing dhuwur awang-awang, kali ilang kedhunge dan pasar ilang kumandange.  Ketika kapal berjalan di angkasa, sungai kehilangan mata airnya dan pasar kehilangan gaungnya, maka Jayabaya mengingatkan, ketiga tanda aneh itu adalah isyarat akhir zaman Berlusin lusin pikiran masa depan kemudian bermunculan, ditulis turun temurun oleh para pujangga Jawa.   

Benarkah berbagai ramalan yang super jitu itu berasal dari abad ke 12? Sejarah mencatat  pesan-pesan masa depan Jayabaya, raja Kediri itu, pertama kali ditulis oleh Sunan Giri Prapen dalam kitab Musarar. Babad Gresik menyebutkan raja Giri Kedaton yang berkuasa antara 1548 hingga 1605 tak hanya sosok pemimpin, ia penyebar agama Islam, mpu dan pujangga besar penggubah kitab Jangka Jayabaya.  

Tetapi masyarakat Jawa mengenal fisik serat Musarar   seratus tahun berselang, ketika pada pada abad 18 para pujangga Keraton Surakarta mulai menulis ulang pesan-pesan masa depan itu.  Tentu saja kemudian kita mengenal Ranggawarsito (1802-1873) yang digadang-gadang sebagai penulis sahih warisan Jayabaya. Pujangga besar terakhir tanah Jawa ini hidup ketika perselingkuhan politik tengah menghebat antara penguasa (Keraton Surakarta) dengan asing (kolonial Belanda). Bobroknya keadaan kala itu ia tuangkan dalam serat Kalatida yang dikenal dengan Zaman Edan, sebelum ia dihukum mati oleh Belanda.

Tentang sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi agaknya impian semua bangsa. Impian itu biasanya muncul setelah negeri dilanda bencana moral besar yang oleh Jayabaya dinamai Kalabendu, sebuah zaman dimana kepemimpinan bobrok, korupsi dan kriminalitas merajalela. 

Maka, zaman yang nyaman itu menjadi tujuan akhir yang oleh Jayabaya disebut Kalasurasa. 

Di Inggris pada 1516, Thomas More menulis Utopia. Sebuah karya fiksi tentang komunitas nun di sebuah pulau antah berantah yang hidup harmoni antara negara, masyarakat, multiagama dan hak-hak perempuan.  

Seperti Ronggowarsito, More hidup di tengah kekuasaan korup. Ia penasihat utama raja Inggris, Henry VIII, yang belakangan berseberangan visi dengan sang raja. More yang dikenal sebagai martir reformasi dihukum pancung pada 1535 atas tuduhan pengkhianatan.

Adakah kegelisahan tentang negeri impian versi More merupakan elaborasi dari pemikiran Plato, filsuf Yunani kuno yang hidup di abad 4 sebelum masehi. Kala itu Plato sudah menulis konsep sebuah negara ideal yang ia sebut “Negara Utopis”. Pemikirannya banyak dipengaruhi traumatis terhadap gurunya, Socrates, yang dipaksa bunuh diri dengan meminum racun karena harus mempertahankan pemikirannya.  Lantaran itu, ia menolak sistem pemerintahan demokrasi dan negara harus dijalankan oleh para filsuf, mereka yang berpengetahuan. Menurutnya pengetahuan berkorelasi dengan kebajikan. 

Dalam versi More, utopia melukiskan bahwa komunalisme adalah solusi untuk egoisme kehidupan pribadi sekaligus kehidupan publik, sebuah pukulan telak bagi orang Kristen Eropa yang kala itu terpecah oleh kepentingan diri dan keserakahan. Tetapi kita melihat benang merah pemikiran Plato dan More dimana politik ideal sebuah negara seyogyanya diputuskan berdasarkan akal sehat.

Jika mengacu pada tesis Jayabaya, Kalasurasi bakal muncul  tahun 2070-2170, berlangsung  dalam tempo seratus tahun, dan setelah itu tak ada penjelasan zaman apalagi yang akan muncul. Boleh jadi ia benar, atau mungkin  kita yang terlalu berharap dengan perubahan-perubahan itu. Padahal senyatanya kita masih tersesat di zaman Kalabendu, sambil terus menunggu dan menunggu seperti Vladimir dan Estragon dalam lakon drama Samuel Beckett, Waiting for Godot.  (Irsyad Muchtar)

Exit mobile version