Pati bergejolak. Demo marak. Tidak 50.000 orang seperti request, tapi 200.000-an massa. Pemicunya, Bupati Sudewo mengerek PBB PP 250%, sembari nantang rakyat berdemo. Status Sudewo kini mangkrak. Tapi Pati tak sendirian. Ada 104 daerah yang bikin PBB-P2 kayak pacu jalur. Dua puluh di antaranya membanderol ‘pajak baru’ 100% lebih: Banyuwangi 200%; Kota Malang, Kabupaten Bone 300%; Kota Solo, Jombang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Janeponto 400%, Kota Batu 700%; Cirebon 1.000%.
Kondisi ini organik dengan kebijakan fiskal/efisiensi APBN versi Presiden. Dampaknya, dana transfer ke daerah (TKD) terpangkas. Jumlahnya Rp50,5 triliun. Pada 2026, pemerintah hendak membonsaikannya lagi hingga 24%. Alhasil, daerah hanya punya satu opsi: naikkan PBB/pajaki rakyat. Fatsalnya, rata-rata 81% porsi APBD kabupaten/kota bersumber dari TKD. Adapun kontribusi PAD hanya 16,6% plus 2,1% dari sumber pendapatan lain-lain. Begitu menurut data BPS 2021-2023.
Demo rakyat Pati, Cirebon, Singkawang, Bone, Makassar dan lain-lain bukanlah gejala sporadis yang bisa direduksi menjadi sekadar “ketidakpuasan warga terhadap kebijakan daerah.” Di balik spanduk dan murka massa, sebuah benang merah tampak terang benderang: pemerintah pusat create mekanisme ‘insentif’ dalam TKD. Makin besar PAD yang berhasil dipungut—terutama dari PBB PP—makin besar pula alokasi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mengalir dari pusat. Jadi, inilah hadiah bagi daerah yang manut, dan hukuman bagi yang pasif memungut.
Daerah diharapkan kreatif. Lha wong pusat aja dhuafa kreativitas kok. Apa jalan keluarnya? Ada. Satu opsi yang selama ini dihindari adalah pajak kekayaan. Inggris pernah memungut 10% dari kekayaan orang superkaya untuk selamatkan fiskalnya. Hasilnya, tak hanya kas negara selamat, tapi perilaku ekonomi para pemilik modal sontak berubah: aset mati dijual, uang mengalir ke sektor produktif, dan mesin ekonomi kembali berputar.
Andai saja pihak pusat (serius) inginkan daerah mandiri, tanpa menciptakan gelombang protes, nyali memajaki kekayaan besar adalah ujian moral sekaligus ujian kepemimpinan. Sebab, pajak yang adil bukan hanya soal angka—tetapi juga soal keberpihakan. Pajak yang sejatinya warisan kolonial Eropa itu, apa daya, permanen dilestarikan. Padahal, jika mau memakai paradigma Islam, pajak itu dalam keseluruhan prosedur dan operatornya mutlak haram.
Naasnya, inisiatif dan kemandirian fiskal yang semestinya ditunjukkan lewat contoh dari otoritas tertinggi tak kunjung hadir. Wajar saja jika ekspektasi publik berujung mubazir. Dan benar nian info yang disampaikan meme yang viral di dunia maya itu: “Di balik haji kecilmu ada hak (pajak) buat pejabat.” Atau, “Ketika ganja ditemukan di tanahmu, itu milikmu, dan kamu dipenjara. Tapi ketika tambang emas ditemukan di tanahmu, itu milik negara, dan kamu dilarang menyentuhnya.”
Salam,
Irsyad Muchtar