
Peluangnews, Jakarta – Meskipun telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tak kunjung rampung hingga saat ini.
Asisten Deputi Pembiayaan dan Investasi UKM KemenKopUKM, Temmy Satya Permana mengatakan, alasan dari lamanya pembahasan RUU ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai revisi atau menjadi UU baru dalam perubahan ini.
“Jadi, presiden sudah setuju, tinggal menunggu dibahas oleh DPR saja. Kemarin-kemarin itu sebenarnya memakan waktu cukup lama mengenai akan direvisi atau menjadi UU baru, namun akhirnya ditetapkan bahwa ini merupakan perubahan ketiga dari UU Nomor 25 tahun 1992,” ujar Temmy usai menjalani diskusi media dengan tema ‘UMKM Naik Kelas Menuju Indonesia Emas’ di Gedung KemenKopUKM, Jakarta, Jumat (17/11/2023).
Temmy menjelaskan, pihaknya juga tengah dipanggil untuk ke DPD dalam waktu dekat.
“Minggu ini kami dipanggil ke DPD dan mereka mendukung karena banyak pasal-pasal yang diharapkan bisa menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan koperasi selama ini,” jelas Temmy.
“Kemudian harapannya juga agar lebih menjadi komprehensif dan lebih berpihak kepada anggota koperasi atau masyarakat. Target kami kalau bisa tahun ini ya pasti akan kami kejar,” tambahnya.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM (SesKemenKopUKM), Arif Rahman Hakim menyampaikan, ada tujuh hal yang menjadi fokus pemerintah atas perubahan ketiga Undang-Undang Perkoperasian 2023.
Adapun, ketujuh hal tersebut di antaranya yang pertama yaitu mengenai modernisasi kelembagaan dan usaha koperasi agar dapat kompatibel dengan perkembangan zaman.
Kedua, rekognisi bahwa koperasi dapat menjalankan usaha di berbagai lapangan usaha dan dapat memilih lapangan usaha sesuai dengan pilihan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).
Ketiga, afirmasi pada koperasi sektor riil agar menjadi penopang dan penggerak utama ekonomi masyarakat, baik koperasi di sektor pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan, pengolahan, pariwisata, dan sebagainya.
Keempat, pemurnian dan penguatan usaha simpan pinjam koperasi agar berbasis jati diri dan mengatur tentang standar tata kelola yang baik.
Kelima, pendirian dua lembaga penyangga usaha simpan pinjam seperti OJK dan LPS.
Keenam, merekognisi dan mengatur tentang keberadaan lembaga atau profesi pendukung dan penunjang perkoperasian sebagai suatu ekosistem terpadu.
Dan yang ketujuh yaitu mengenai peningkatan pelindungan anggota dan badan hukum koperasi melalui penerapan sanksi pidana.