
PeluangNews, Jakarta – Keterbatasan ketersediaan air permukaan masih menjadi tantangan utama dalam pengembangan pertanian berkelanjutan, khususnya di wilayah dengan karakter lahan kering. Kondisi ini mendorong perlunya inovasi teknologi irigasi yang mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan air tanpa mengurangi produktivitas pertanian.
Menjawab tantangan tersebut, tim peneliti Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM) mengembangkan inovasi sistem irigasi sawah tanpa perkolasi sebagai solusi pertanian berkelanjutan, terutama untuk daerah dengan keterbatasan air seperti Kabupaten Gunungkidul dan wilayah serupa di Indonesia.
Sistem irigasi ini dirancang dengan memasang lembaran geomembran di bawah zona perakaran tanaman padi. Tujuannya untuk meminimalkan kehilangan air akibat perkolasi atau rembesan ke dalam tanah, sehingga air yang digunakan dapat dimanfaatkan secara lebih efisien. Sebelum penanaman, lahan sawah digali dan dilapisi geomembran, kemudian ditutup kembali dengan tanah. Metode ini terbukti mampu menahan air agar tidak meresap ke bawah.
Ketua Tim Peneliti, Prof. Fatchan Nurrochmad, bersama anggota tim Dr. Rachmad Jayadi dan Endita Prima Ari Pratiwi, menjelaskan bahwa sistem ini bekerja dengan mengendalikan pergerakan air di lahan sawah. Air tidak dibiarkan hilang melalui perkolasi, melainkan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tanaman melalui proses evapotranspirasi, yang mencakup evaporasi dan transpirasi.
“Sawah tanpa perkolasi ini dirancang agar air dan nutrisi tidak hilang ke bawah tanah tetapi dapat dimanfaatkan oleh padi atau tanaman lain secara optimum artinya kebutuhan air dan nutrisi dapat memenuhi kriteria tepat waktu, tepat jumlah dan tepat kualitas,” kata Fatchan, Rabu (24/12).

Ia menambahkan, kebutuhan konsumtif tanaman padi berada pada kisaran 7–8 milimeter air per hari. Pada sawah konvensional, khususnya di wilayah dengan tanah lempung hitam seperti Gunungkidul, sebagian besar air justru langsung meresap ke dalam tanah saat musim kemarau. Kondisi ini menyebabkan kekeringan di zona perakaran sehingga air tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tanaman.
“Tanah di sini sebenarnya sangat subur, tetapi saat kering dan diberi air, maka air tersebut akan langsung meresap ke bawah. Inilah yang membuat petani kesulitan bercocok tanam saat musim kemarau,” ujarnya.
Fatchan menilai Gunungkidul memiliki potensi pertanian yang besar, mulai dari tingkat kesuburan tanah, luas lahan, hingga ketersediaan air bawah tanah yang melimpah. Berdasarkan hasil pengeboran, kedalaman air tanah di wilayah ini berkisar antara 60 hingga 70 meter, bahkan di beberapa titik mencapai lebih dari 100 meter. Namun secara geografis, pemanfaatan air permukaan seperti sungai sulit diterapkan. Oleh karena itu, air tanah dimanfaatkan melalui sumur bor yang dipompa dan ditampung di toren sebelum dialirkan ke petak sawah menggunakan pipa PVC sesuai kebutuhan.
Meski efektif secara teknis, kebutuhan investasi awal menjadi tantangan bagi petani. Biaya pembuatan sumur bor, pembelian pompa air, jaringan pipa PVC, serta geomembran tergolong cukup besar.
“Secara teknis ini efektif, tetapi biayanya masih mahal. Karena itu, dukungan pihak lain seperti program CSR sangat dibutuhkan agar sistem ini bisa diterapkan lebih luas,” kata Fatchan.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penerapan sistem irigasi ini secara berkelompok oleh beberapa petani untuk menekan biaya. Selain inovasi pengelolaan air, sistem budidaya yang diterapkan juga menggunakan pola tanam Jajar Legowo 2:1, yakni dua baris tanaman padi diselingi satu baris kosong. Pola ini bertujuan mengurangi persaingan nutrisi antar tanaman dengan menyebarkan sumber makanan di beberapa titik.
Pada akhir musim tanam atau setelah panen, lahan kembali diperkaya dengan pupuk organik agar siap ditanami pada musim berikutnya. Proses pengolahan tanah dilakukan secara hati-hati untuk menjaga agar geomembran tidak rusak.
“Jeda antara penanaman pertama dan berikutnya sekitar 10 hari s.d. 1 bulan untuk memberikan tanah sawah siap ditanami lagi,” ungkapnya.
Sementara itu, Danar selaku ketua kelompok tani berharap inovasi ini dapat mendorong petani tradisional beralih ke sistem pertanian yang lebih efisien dan produktif, termasuk di lahan pekarangan.
“Harapan kami, ke depan mayoritas petani tradisional bisa beralih ke sawah modern tanpa perkolasi karena sistem ini jauh lebih efektif dan efisien, terutama dalam perawatan dan pengelolaan air,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian FT UGM dan data BPS Gunungkidul, produktivitas sawah tradisional rata-rata hanya sekitar 0,5 kilogram per meter persegi. Sementara sawah tanpa perkolasi mampu menghasilkan 1 hingga 1,1 kilogram per meter persegi atau lebih dari dua kali lipat.
“Peningkatan produktivitas ini sangat signifikan. Selain hasil panen yang meningkat, air juga benar-benar dimanfaatkan oleh tanaman karena perkolasi hampir nol. Air hanya hilang lewat penguapan dan transpirasi,” jelasnya.
Ke depan, kawasan sawah tanpa perkolasi ini juga dirancang untuk dikembangkan melalui konsep mix farming dengan mengintegrasikan pertanian padi, peternakan kambing, dan budidaya belut. Limbah ternak kambing dapat dimanfaatkan untuk budidaya cacing sebagai bagian dari sistem pertanian terpadu yang berkelanjutan.








