Dibanding Suku Kajang, dua suku lain di Sulawesi, Polahi dan Wana, hampir-hampir tak dikenal. Mereka tertinggal, tercecer, bahkan terabaikan di tengah jargon heroik keindonesiaan.
SUKU KAJANG. Di Pedalaman Bulukumba, Sulawesi Selatan, masih dijumpai kelompok Suku Kajang. Mereka kebanyakan bermukim di Tana Toraja (tanah yang dituakan). Seperti rerata suku tercecer di Indonesia, Suku Kajang ini hidup dengan cara yang sangat sederhana. Tinggal di dalam hutan perawan, mereka membatasi kehidupannya dengan masyarakat luar ataupun sentuhan peradaban.
Yang mengagumkan, tradisi dan budaya leluhur ditegakkan dengan segenap jiwa raga. Mematuhi adat bagi orang Kajang adalah kewajiban mutlak. Mereka pun menolak mentah-mentah peradaban maju. Mereka tampaknya memilih jalan hidup apa adanya, sampai generasi-generasi berikut.
Suku Kajang menempati sebuah daerah bernama Tana Toa di Sulawesi Selatan. Berpakaian serba hitam merupakan ciri khas mereka. Mereka percaya, hitam itu nggak ada jenisnya. Hitam ya hitam. Selain lambang kesetaraan, hitam juga simbol kesakralan. Pakaian hitam juga berlaku untuk para tamu dan pendatang. Aturan itu tak dapat ditawar-tawar.
Hutan bernilai ibarat permata, karena wajib dijaga bersama. Merusak hutan haram hukumnya. Mereka sangat protektif terhadap hutan mereka, dengan menetapkan aturan ketat tentang penggunaan hutan. Misalnya, masyarakat tak boleh sembarangan menebang pohon, tanpa izin tetua. Sebelum melakukan penebangan, seseorang harus menanam satu pohon terlebih dahulu. Kalau dilanggar, sanksi hukumannya berat.
“Doti” merupakan hal yang paling dari suku satu ini. Doti adalah semacam kekuatan sihir, yang penggunaannya sangat banyak. Kekuatan Doti, menurut kabar dari mulut ke mulut, sangat luar biasa. Ia bisa untuk memberikan siksa bahkan membunuh. Doti konon juga bisa membuat seseorang kebal.
Di sana dikenal ritual unik bernama Linggis Panas. Ritual ini dipakai ketika ada pencurian di desa jika tak ditemukan siapa pelakunya. Untuk mencari si biang kerok, ketua suku akan membakar sebuah linggis sampai benar-benar panas. Kalau ada seseorang yang merasa sangat kesakitan saat memegang linggis tersebut, maka ia dianggap sebagai tersangka. Kini suku Kajang sudah jauh lebih terbuka. Mereka seakan menegaskan bahwa, di kedalaman hutan Sulsel, terdapat satu suku yang hidup damai dan pandai melestarikan alam.
SUKU POLAHI. Suku primitif ini hidup secara nomaden di hutan-hutan Boliyohato Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo. Belum kenal pakaian. Masih hidup dengan cara-cara tradisional, seperti berburu. Konon, Polahi itu masyarakat pelarian. Mereka eksodus ke hutan karena menolak dijajah Belanda, seperti komunitas Samin di Jawa.
Hidup dari bercocok tanam ala kadarnya dan berburu babi hutan, rusa, dan ular sanca. Hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, yang berfungsi untuk penghangat. Kawin dengan saudara kandung (incest) adalah biasa. Budaya incest tercipta karena dampak isolasi masyarakat yang mereka buat sendiri, tapi (anehnya) keturunan mereka tak ada yang cacat.
Dalam kebudayaan penganut agama tradisional ini tak dikenal hitung-menghitung, juga tak dikenal hari. Mereka hanya mampu menghitung hingga empat. Selebihnya adalah “banyak”. Sebelum pendidikan disosialisasikan, mereka hanya mengenal dua kriteria, yakni “satu” dan “banyak”.
Mereka memiliki tiga tuhan. Yakni Pulohuta, tuhan yang digambarkan sebagai sosok hidup yang berkuasa atas tanah dan dicirikan sebagai leluhur (pasutri). Untuk membuka lahan untuk berkebun, mereka harus meminta izin pada Poluhuta. Yang kedua adalah Lati. tuhan yang menyerupai makhluk-makhluk kecil yang mendiami pepohonan. Terakhir Lausala, makhluk yang selalu berkeinginan membunuh masyarakat Suku Polahi. Digambarkan sebagai sosok protagonis yang haus darah, meski di antara mereka belum pernah ada yang bertemu langsung.
Mudah dibayangkan betapa beratnya tantangan untuk memajukan masyarakat ini. Suku pedalaman asli Indonesia yang saat ini masih diteliti adat dan budayanya karena menyimpan misteri yang menarik. Saat ini, masyarakat Suku Polahi mulai beradaptasi. Mereka sudah mulai mengenakan pakaian, belajar baca tulis, dan bekerja sebagai kuli angkut di pasar sekitar. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, sekira 200 orang di Kec Paguyaman dan 300 orang di Kec Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil.
SUKU WANA. Suku Wana sering disebut juga dengan Tau Taa Wana yang berarti “orang yang tinggal di hutan”. Mereka biasa menyebut diri sebagai Tau Taa, (orang Taa) . Suku Wana termasuk salah satu suku nomaden pertama yang menghuni daratan Sulawesi, sejak zaman Mezolithicum, 8.000 tahun silam. Yakni di wilayah Kab Morowali. Permukiman mereka berada di Kec Mamosolato, Petasia, dan Soyojaya, dan di Kab Luwuk Banggai.
Mereka hidup dari hasil hutan, ladang, berpindah-pindah dan berburu. Mereka berutur dalam varian bahasa Ta’a di Sulawesi Tengah-Timur. Permukiman suku Wana berada di hutan pedalaman, yang disebut Lipu. Mereka menghuni beberapa Lipu, yaitu Lipu To Oewaju, To Kajumarangke, To Kajupoli, To Posangke, To Bulang, To Langada, To Untunue dan yang lainnya.
Populasi suku Wana ini diperkirakan hanya 400 orang. Kini, Tau Taa Wana sedang terancam karena masalah kepemilikan tanah. Soalnya, sejak 1994, dorongan program transmigrasi telah memengaruhi gaya hidup tradisional mereka. Sejak tahun 2000 mereka mulai menerapkan pertanian rotasi (sayur-sayuran serta kacang, jagung dan ubi). Kebiasaan berburu ke hutan tetap dijalankan, juga menangkap ikan di sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.●(dd)