checkup-dokter keuangan
checkup-dokter keuangan
octa vaganza

Trauma KSP Gagal Bayar, Menteri Teten Sarankan Koperasi Merger

Trauma KSP Gagal Bayar, Menteri Teten Sarankan Koperasi Merger
Trauma KSP Gagal Bayar, Menteri Teten Sarankan Koperasi Merger/dok.peluang-hawa

Peluang News, Jakarta – Trauma koperasi simpan pinjam (KSP) alami gagal bayar,  Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (MenKopUKM) Teten Masduki menyarankan agar jumlah koperasi di Indonesia dikurangi dengan cara menggabungkan beberapa koperasi (merger). Hal ini dimaksudkan agar pengawasan terhadap koperasi tetap berjalan efektif.

Teten menjelaskan, saat ia baru menjabat sebagai MenKopUKM dan Indonesia terkena pandemi COVID-19, terdapat setidaknya delapan koperasi simpan pinjam yang mengalami gagal bayar.

“Setelah dievaluasi, ternyata selama ini ekosistem kelembagaan koperasi, terutama koperasi simpan pinjam yang paling berisiko, tidak diperbaiki. Berbeda dengan perbankan yang sejak krisis moneter 1998 sudah memiliki LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Perbankan diawasi oleh BI (Bank Indonesia) dan OJK yang lebih independen,” kata Teten dalam Economic Update CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (3/8/2024).

Sedangkan koperasi, menurut Teten, belum memiliki fungsi pengawasan yang memadai. Padahal, koperasi simpan pinjam yang ada saat ini sudah hampir setara dengan perbankan. Hubungan antara anggota dengan koperasi kini mirip dengan nasabah dan bank. Oleh karena itu, koperasi saat ini membutuhkan pengawasan eksternal.

Ia juga mengakui bahwa undang-undang koperasi saat ini sudah usang dan tidak lagi sesuai untuk diimplementasikan di masa kini.

“Saat ini koperasi mengawasi dan meregulasi diri sendiri. Padahal, koperasi sekarang sudah tidak kecil lagi, bahkan operasionalnya mirip perbankan. Jadi, pengawasan internal oleh anggota saja tidak lagi efektif. Jika koperasi masih kecil, anggotanya bisa saling mengenal dan pengawasan internal bisa berjalan. Tapi, koperasi besar membutuhkan pengawasan eksternal, seperti di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan banyak negara lainnya,” jelasnya.

Teten menambahkan bahwa di negara-negara lain, industri keuangan seperti perbankan dan koperasi mengikuti aturan yang sama. Koperasi simpan pinjam di Eropa bahkan sudah membangun bank.

“Secara hukum, mereka tetap koperasi, tetapi pengawasannya mengikuti regulasi yang sama dengan bank,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Teten mengusulkan revisi undang-undang koperasi agar koperasi simpan pinjam di Indonesia memiliki pengawas eksternal seperti LPS atau OJK.

“Diperlukan lembaga khusus, termasuk LPS, agar peminjam kecil merasa aman jika terjadi gagal bayar. Tidak adil jika penyimpan di bank dilindungi sementara penyimpan di koperasi tidak,” katanya.

Ia juga menegaskan bahwa koperasi simpan pinjam yang melayani anggota dan non-anggota harus berada di bawah pengawasan OJK untuk menghindari potensi masalah di masa depan.

Sejalan dengan itu, Teten mendorong koperasi simpan pinjam yang ada untuk melakukan merger. Ia juga menetapkan batas modal minimal Rp500 juta untuk pendirian koperasi baru agar tidak berdampak pada akses masyarakat terhadap pembiayaan.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa bank milik koperasi di negara barat menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan bank non-koperasi, sehingga koperasi memiliki potensi besar.

“Kami ingin memperbaharui model bisnis koperasi. Di barat, koperasi besar seperti koperasi penghasil susu terbesar di dunia di New Zealand, juga hasil dari merger,” tutupnya. (Aji)