hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Tjokro 1913

Suaranya yang lantang, tegas dan menggelegar – lantaran itu Bung Karno berguru kepadanya- memecah kebekuan langit di atas kota Surabaya. Hari itu, Ahad, 26 Januari 1913, dalam vergadering (rapat akbar) yang dihadiri puluhan ribu massa rakyat, Raden Mas Omar Said Tjokroaminoto mendeklarasi Sarekat Islam, organisasi massa pertama paling progresif di Hindia Belanda.
Pergerakan yang merupakan metamorfosis dari Sarekat Dagang Islam (SDI) ini mempertegas platform perjuangannya membenahi ekonomi kaum pribumi melalui perkumpulan koperasi. Kita tahu, Tjokro yang dikenal sebagai guru para tokoh bangsa itu tengah bersiasat menyembunyikan cita-cita Sarekat Islam (SI) menuju negara merdeka. Maka isu, pembenahan perekonomian umat dengan cara berkoperasi dianggap lebih aman dari incaran kebijakan tangan besi kolonial Belanda. Tetapi mengapa memasang embel-embel koperasi ?
Di dekade awal abad 20 itu, koperasi merupakan energi baru yang dianggap mampu mengimbangi dominasi kaum kapitalis yang curang dan tidak adil. Tjokro, maupun dua penggagas awal kelahiran SDI, Samanhoedi dan Raden Mas Tirto Adhisoerjo tentu menyimak perkembangan yang terjadi di Eropa, ketika sejumlah buruh pabrik menginisiasi koperasi konsumen pertama, Rochdale Society (1844) di Inggris. Gerakan yang digadang sebagai countervailing power ekonomi kapitalis itu diikuti pertumbuhan ratusan unit koperasi konsumsi, yang kemudian membentuk sekunder koperasi, The Cooperative Whole Sale Society (CWS) tahun 1862. CSW menggalang publikasi sistematis melalui media internal milik sendiri, Cooperative News pada 1870 sehingga gaung koperasi menggema ke seantero Eropa. Kita tidak tahu, adakah tipologi koperasi konsumen yang dibangun Tjokro mengacu pada bukti empirik yang berlangsung di Eropa.
Yang pasti, selepas vergadering 1913 itu, puluhan toko Koperasi Serba Usaha tumbuh subur di berbagai kantor cabang SI di Jawa, Madura, Sumatera dan Kalimantan. Dalam tempo singkat SI merebut perhatian kaum pribumi Hindia berkat propaganda melalui surat kabar milik SI yang terbit di sejumlah kota, seperti Oetoesan Hindia di Surabaya, Saratomo di Surakarta, Sinar Djawa di Semarang, Kaoem Moeda di Bandung dan Pantjaran Warta di Batavia.
1913, tahun pemula yang penuh heroik berkoperasi itu, agaknya boleh disebut tonggak kebangkitan perekonomian rakyat. Koperasi tidak hidup di sangkar birokrasi maupun pengaturan kolonial, ia menyusup di tengah deru keringat ekonomi rakyat. Kuntowidjoyo menulis, pengelolaan toko-toko koperasi yang dilakukan secara rasional dalam dasa warsa kedua abad itu telah merintis jalan ke arah timbulnya gerakan koperasi di kalangan menengah muslim pada 1930-an.
Ketika masa bulan madu perkoperasian 1913 itu usai seiring bubarnya SI, kita pun memetik pelajaran berharga bahwa koperasi-koperasi yang hebat itu berdiri di atas fondasi yang rapuh; koperasi sekadar sasaran antara dari kepentingan segelintir elit politik. Kesalahan itu masih berulang ketika pada 1929 koperasi kembali naik panggung politik melalui Partai Nasional Indonesia. Tujuannya memang mulia, namun upaya yang sungguh-sungguh untuk menghidupkan roh ekonomi koperasi tetap saja masih di dataran wacana. Koperasi masih belum beranjak dari posisinya yang pengap, hanya sebatas instrumen pemerintah dalam mencapai stabilitas ekonomi.

pasang iklan di sini