Malam itu nyaris menjadi malam jahanam bagi Yura (Clara Bernadeth). Tanpa curiga ia menerima undangan dari tunangannya Bobby Sadewo (Marthinio Lio) untuk ke rumah mewahnya. Hujan lebat membuatnya terpaksa bermalam, tanpa tahu bahwa malam itu awal dari kemalangan beruntun yang akan dideritanya.
Bobby yang mabuk nyaris memperkosanya, beruntung Yura berhasil menampik Bobby dan lolos berkat bantuan dua sahabat di kampusnya Christian (Giorgino Abraham) dan Oka (Kevin Ardilova). Tetapi justru keluarganya, ayahnya Hartono (Nugie), musisi yang karirnya meredup, ibu tirinya dan adiknya nyaris diusir dari rumahnya.
Rupanya diam-diam ibu tirinya berhutang Rp5 miliar, termasuk untuk mempromosikan lagu-lagu Hartono dan biaya hidup kepada keluarga Sadewo.
Sang Ayah kemudian mencari Yura menghubungi sahabatnya Oka dan menemukan di kuburan ibunya Diandra Puspita.
Cerita bergulir, Yura, serta sahabatnya Christian dan Oka membangun bisnis kuliner kreasi mi instan. Oka diceritakan berada di keluarga wirausaha kuliner besar. Yura harus keluar dari kuliahnya agar tidak membebani keluarganya yang diusir dan adiknya agar tetap bersekolah.
Belakangan Christian, jatuh hati pada Yura dan mengajaknya menikah. Untuk meyakinkan Yura diajaknya berkenalan dengan keluarganya, Sang Ayah bernama Salim (Ari Wibowo) dan Ibunya, yang dipanggil Tante Amerika (Febiola) yang ternyata keluarga konglomerat.
Hidup Yura menjadi bahagia lagi, sekalipun Sang Ayah stroke dan keluarganya tinggal di rumah kontrakan yang dibiayai oleh Christian.
Christian kemudian ditugaskan keluarganya membereskan masalah bisnis Robert di Amerika, untuk sementara berpisah dari Yura. Di sini kemalangan kembali diderita Yura, Christian menghilang tidak bisa dihubungi dan keluarganya sudah hengkang ke Amerika. Masalahnya Yura hamil anak dari Christian.
Bagaimana Yura tetap tegar dan bagaimana keluarganya dan sahabatnya yang tersisa, Oka menguatkannya menjadi inti cerita “Tersanjung” versi film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan Pandhu Adjisurya.
Film itu memang merupakan adaptasi dari sinetron berjudul sama yang menghiasi layar kaca di tahun 1998 hingga 2005. Kesamaaannya adalah fokus pada kemalangan yang diderita tokoh utamanya. Kalau dalam sinetron yang berlangsung tujuh season (1998-2005), tokoh perempuan malang itu bernama Indah yang diperankan Lulu Tobing.
Kini Hanung merebootnya dengan mengambil setting 1990-an, hingga Indonesia sedang mengalami krisis moneter, maraknya demonstrasi mahasiswa menjelang mundurnya Presiden Soeharto. Namun seperti yang dituturkan Hanung dalam jumpa pers di Epicentrum, Jumat (13/3/20), latar politik hanya ditampilkan lewat berita koran dan televisi. Dia ingin menghadirkan generasi 1990-an tetapi dari anak daerah, dalam hal ini Yogyakarta.
Sekalipun begitu dalam berapa adegan, isu aktivis yang diculik, selebaran di kampus mengajak demo, betapa paniknya Yura ketika terjadi kerusuhan di Jakarta dan transportasi dari Yogyakarta sulit, hingga Oka mengantarkannya menjadi cerita ini kuat pada zamannya. Itu kelebihan Hanung dan Pandhu yang mampu meriset zaman itu, termasuk penggunaan Yellow Pages untuk mencari alamat, hingga pager.
Hal yang menarik lagi ialah Hanung melibatkan aktor Ari Wibowo salah satu tokoh utama Tersanjung versi sinetron dan Febiola. Hingga sekaligus membuat saya sedikit bernostalgia. Hanung mengaku sadar betul bahwa citra -Tersanjung” lekat dengan sinerton yang tidak ada tamat-tamatnya, namun tetap optimis film ini bakal mendapat sambutan.
Aktris Febiola dalam jumpa pers juga mengungkapkan bahwa film ini memberi semangat milenial pada esensi “Tersanjung”.
Kelebihan film ini terletak pada kejelian Hanung memilih karakter pemainnya, selain risetnya tadi. Pendatang baru Clara Bernadeth secara fisik agaknya mirip dengan Lulu Tobing mampu berdandan ala 1990-an, sekalipun masih terlihat modis milenialnya. Namun penampilan Nugie sebagai musisi yang terpuruk dan stroke justru mencuri perhatian.
Satu adegan favorit saya ialah ketika Yura menyanyikan lagu “Ayah” di warung tenda kuliner Yo Mie, keluarganya datang, Sang ayah menitik air matanya dan saya pun sebagai penonton menitik air mata. Itu artinya film ini juga menawarkan banjir air mata seperti sinetronnya.
Sinematografinya juga bagus. Landscape ketika Yura terbaring di kuburan sepi menggambarkan betapa hancurnya hidup dia, kehilangan kepercayaan pada cinta begitu indah. Lewat sebuah adegan, Hanung dan Pandhu sudah menyiapkan klu bahwa film ini bakal ada sekuelnya.
“Saya tidak mencari keadilan, tetapi mencari ikhlas”. Air mata saya pun jatuh dari ucapan Yura yang begitu menyentuh.
Tersanjung di tangan Hanung dan Pandhu berhasil menawarkan rasa baru, bahkan termasuk bagi mereka yang tidak menonton sinetronnya (Irvan Sjafari).