Kenaikan giro wajib minimum menjadi 6% mulai 1 Juni 2022, dinilai tidak akan mengganggu penyaluran kredit bank maupun aktivitas investasi pada surat berharga.
Meski pandemi Covid-19 mulai menurun namun itu tidak mengurangi kondisi ketidakpastian perekonomian global. Perang Rusia-Ukraina mendorong kenaikan komoditas energi dan pangan yang menimbulkan kecemasan baru meroketnya inflasi dunia.
Pada awal tahun, IMF memprediksi inflasi di negara berkembang pada tahun ini diprediksi sebesar 5,9%, namun kemudian direvisi dalam rilis terbaru yang diterbitkan pada April 2022 menjadi sebesar 8,7%. Hal ini berdampak pada direvisinya proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi sebesar 3,6% dari sebelumnya 4,4%.
Perekonomian Indonesia tidak lepas dari perkembangan situasi dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, tingkat inflasi pada April 2022 sebesar 0,95%, atau mencapai 3,47% secara tahunan (April 2021-April 2022). Laju inflasi ini meningkat signifikan dibandingkan periode sama tahun sebelumnya sebesar 1,42%.
Peningkatan inflasi terutama disebabkan naiknya harga makanan, minuman, dan tembakau serta transportasi yang masing-masing berkontribusi sebesar 0,46% dan 0,29%. Jika laju inflasi dibiarkan melejit maka akan memberatkan masyarakat terutama di lapisan akar rumput.
Untuk mengendalikan laju inflasi, Bank Indonesia (BI) berinisiatif menaikan setoran wajib bank kepada BI atau dikenal giro wajib minimum (GWM) secara bertahap sepanjang tahun ini.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, pada 1 Juni 2022, kewajiban minimum GWM Rupiah untuk Bank Umum Konvensional (BUK) yang sebelumnya sebesar 5,0% akan naik menjadi 6,0%. Kemudian, akan kembali dikerek mulai 1 Juli 2022 menjadi 7,5% dan per 1 September 2022 menjadi 9%. Sementara pada bank umum syariah (BUS), GWM naik menjadi 4,5% pada 1 Juni 2022, kemudian pada 1 Juli 2022 menjadi 6%, dan mulai 1 September 2022 menjadi 7,5%. “Kami akan menaikkan GWM secara bertahap,” kata Perry usai rapat Dewan Gubernur BI beberapa waktu lalu.
Meski GWM dinaikan, namun BI menjamin tidak akan mengurangi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dan membeli obligasi pemerintah untuk pembiayaan APBN.
Pada April 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 29,38% dan tetap mendukung kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit yang tumbuh sebesar 9,10% (yoy).
Menanggapi kenaikan GWM bank tersebut, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan kebijakan GWM memang lebih langsung berdampak terhadap likuiditas perbankan jika dibandingkan dengan suku bunga acuan BI7DRR. “Kenaikan GWM akan langsung mengurangi likuiditas bank sekaligus menahan laju pertumbuhan kredit,” ujar Piter.
Sebagai ilustrasi, jika Bank memiliki dana pihak ketiga sebesar Rp100 juta dengan GWM sebesar 6%, maka sebesar Rp6 juta akan disimpan di BI dan sisanya sebesar Rp94 juta akan disalurkan dalam bentuk kredit atau investasi surat berharga. Sehingga otomatis kenaikan GWM akan mengurangi alokasi kredit yang akan disalurkan perbankan. Pemberlakuan normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan GWM rupiah secara bertahap tersebut diprediksi akan mengurangi likuiditas di perbankan hingga sebesar Rp110 triliun.
Selain mengerek GWM, selaku regulator BI juga meningkatkan insentif bagi perbankan yang menyalurkan kredit kepada sektor prioritas dan UMKM. Berikut rinciannya:
- Pelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Rupiah rata-rata menjadi maksimal sebesar 2%, yaitu melalui insentif atas pemberian kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas paling besar 1,5% dari sebelumnya paling besar 0,5%, dan insentif pencapaian Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) tetap paling besar 0,5%;
- Perluasan cakupan subsektor prioritas dari 38 subsektor prioritas menjadi 46 subsektor prioritas yang dibagi dalam 3 kelompok yaitu resillience (kelompok yang berdaya tahan), growth driver (kelompok pendorong pertumbuhan), dan slow starter (kelompok penopang pemulihan);
- Pemberian insentif tersebut ditujukan untuk semakin meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan inklusif dan pemulihan ekonomi nasional.
Peningkatan insentif bagi bank-bank yang menyalurkan kredit kepada sektor prioritas, UMKM, maupun bank yang memenuhi target RPIM akan dimulai per 1 September 2022. Pemberian insentif tersebut ditujukan untuk semakin meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan inklusif dan pemulihan ekonomi nasional.
Pengendalian laju inflasi dari sisi moneter sudah dilakukan oleh BI. Namun publik masih menanti kebijakan pemerintah dalam mengendalikan arus barang impor untuk menekan inflasi. Agar lebih efektif, diperlukan bauran kebijakan dari sisi moneter maupun fiskal untuk mengerem inflasi agar pertumbuhan ekonomi berkualitas dan terutama bagi rakyat kecil supaya tidak semakin susah dalam memenuhi kebutuhannya. (Kur).