SEAKAN tak putus-putus masyarakat harus menyimak pernyataan kurang sedap dari pihak pelayanan publik. Yang terbaru adalah saran menggunakan jalan biasa, jika tarif tol dianggap mahal. Tarif beberapa ruas jalan tol dianggap terlalu tinggi. Jalan alternatif yang tujuannya untuk memudahkan malah jadi menyulitkan masyarakat dari segi biaya.
Contoh, ruas tol Surabaya-Mojokerto-Kertosono. Akibat tingginya tarif, masyarakat malah lebih memilih jalan biasa. Beban jalan (biasa) yang diharapkan berkurang tidak terpengaruh sama sekali. Tetap saja macet. Begitu juga ruas tol lainnya: Becakayu Seksi IB dan IC (Cipinang-Jaka Sampurna, 8,26 km), yang mematok tarif mulai dari Rp14 ribu. Ruas tol Medan-Binjai Seksi 2 dan 3 (Helvetia-Binjai, 10,45 km), tarifnya mulai dari Rp10.500. Ruas tol Semarang-Solo Seksi 3 (Bawen-Salatiga, 17,6 km) tarifnya mulai dari Rp17,500.
Saran “menggunakan jalan biasa” versi Kepala Jalan Tol BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Herry Trisaputra Zuna, jelas tak cerdas. “Hal itu (justru) merupakan bentuk kebodohan pemerintah lantaran membanggakan jalan tol,” ujar Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean.
Saya (kita) tak berharap mendengar kalimat naif semacam itu lagi.
Armani Virgiastuti
Bekasi Timur, Jawa Barat