To fight corruption one must go after the tiger first, then the wolf. There will be absolutely no tolerance for the tiger. –Zhu Rongji.
“Saya menyesal,” ujar Chen Xitong, mengenang lagi peristiwa berdarah di Lapangan Tiananmen pada 3-4 Juni 1989. Kala itu ia Walikota Beijing yang mendapat perintah atasan untuk menumpas aksi unjuk rasa massa pro demokrasi. Aksi itu dipicu oleh tewasnya Hu Yaobang, seorang reformis liberal, mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis. Namun tidak hanya sekadar berkabung, para demonstran juga menuntut demokrasi, pemberantasan korupsi di tubuh elit partai, akuntabilitas pemerintah, kebebasan pers, kebebasan berbicara dan penghapusan kontrol buruh atas industri.
Pemerintah Cina di bawah kendali Deng Xiaoping mengakhiri aksi itu dengan mengirim ribuan tentara. Sekitar 10.000 orang ditengarai tewas digilas puluhan tank. Usai pembersihan Tiananmen, Chen dipromosikan menjadi Sekretaris Partai Komunis Cabang Beijing pada 1992. Ia pun menduduki jabatan elit politbiro yang secara de facto menguasai Cina. Tak diragukan karir politiknya bakal cerah.
Naas, pada tahun 1995, ia tersandung korupsi dan dipecat lantaran terbukti menerima suap dan penyalahgunaan 2 miliar dolar AS dana publik untuk membangun villa mewah, pesta dan mengambil perempuan simpanan. Chen menjadi politbiro partai komunis pertama yang masuk penjara, sejak berakhirnya Revolusi Kebudayaan 1976. Tumbal bagi pemerintah Cina yang kala itu bertekad memberantas korupsi dari atas.
Mengomentari penangkapan politbiro yang tak tersentuh hukum itu, Zhu Rongjie menganalogikan bak menangkap harimau. Untuk memberantas korupsi, tangkap dulu harimau, lalu serigala. Sama sekali tidak ada toleransi terhadap harimau.
Zhu, yang mantan Walikota Shanghai, memang dikenal tak kenal kompromi terhadap korupsi. Ia mendapat pujian publik, namun ia juga sadar bakal punya banyak musuh di pemerintahan dan petinggi partai yang rerata korup.
Saat dilantik jadi Perdana Menteri Republik Rakyat Cina pada 1998, Zhu tegas menyatakan perang terbuka terhadap para pejabat korup. Siapkan 100 peti mati, katanya. 99 untuk para koruptor dan satu peti mati untuk dirinya sendiri jika gagal atau justru ia sendiri korupsi. “Prepare 100 caskets and leave one for me.”
Peti mati pertama ia kirim kepada koleganya sendiri. Hu Chang-Ging, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi. Ia ditembak mati setelah terbukti menerima suap. Ia menciduk pejabat tinggi Partai Komunis Cina, Cheng Kejie yang terlibat suap 5 juta dolar AS. Permohonan banding Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional itu tidak digubris. Cheng dihukum mati pada tahun 2000. Dari kalangan profesional adalah Xiao Hongbo, Manajer Cabang Bank Konstruksi Cina, Ia menilep uang 4 juta Yuan dari bank milik negara itu dan dihukum mati pada 2001.
Sepanjang masa jabatannya, Zhu tercatat telah mengeksekusi mati 4.000 an koruptor. Tidak hanya menyasar pejabat negara kelas harimau, juga pengusaha, bahkan wartawan. Di tahun akhir masa tugasnya, di 2003, Zhu memecat hampir 40 ribu polisi lantaran tidak hanya menerima suap, tapi juga berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di luar tugas, dan kualitas di bawah standar. Lalu, selesaikah pemberantasan korupsi di Cina?
Ketika terpilih menjadi Presiden Republik Cina pada 14 Maret 2013, Xi Jinping mengakui rumitnya membasmi korupsi yang sejak era kekaisaran sudah menjadi gaya hidup di semua lapisan sosial itu. Namun ia menegaskan sikapnya untuk melanjutkan perang terhadap koruptor. Empat tahun berselang, ia telah menghukum lebih dari satu juta pejabat Cina yang korup di semua tingkatan. Bagi Xi, seperti dikutif AFP, jika ia tidak berani menghukum ratusan ribu pejabat korup, sama saja halnya ia melukai hati 1,3 miliar orang di daratan Cina.