octa vaganza

Tanganin Kasus Kekerasan Seksual, KemenKopUKM Bentuk Tim Independen 

Jakarta (Peluang) : Tim Independen memberikan perlindungan keluarga korban dan dipastikan tidak ada intimidasi. 

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenKopUKM) bergerak cepat membentuk Tim Independen sebagai upaya penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kementerian tersebut.

Tim Independen terdiri dari Staf Khusus Menkop Bidang Ekonomi Kerakyatan Riza Damanik, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Aktivis Perempuan Sri Nurherwati, Ririn Sefsani, dan Ratna Bataramunti.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (MenKopUKM) Teten Masduki mengatakan, keluarga korban membuka kembali kasus pelecehan seksual dengan melaporkan kasusnya ke Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Ombudsman.

“Maka itu, kami bergerak cepat membentuk tim independen sebagai upaya penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan KemenKopUKM,” ujar Teten  dalam keterangan resminya, Selasa (26/10/2022).

Pada tahun 2019, terjadi kekerasan seksual di lingkup kementerian tersebut yang kemudian ditindaklanjuti berkoordinasi dengan aparat penegak hukum. Kepolisian disebut telah menahan empat terduga yang melakukan pelecehan seksual.

Kasus itu sempat dihentikan ketika penyidik mengeluarkan Surat Peringatan (SP) 3 setelah pihak keluarga korban dan para pelaku diduga bersepakat menyelesaikan secara kekeluargaan dengan menikahkan salah satu pelaku dengan korban.

Pihak kementerian telah memberikan sanksi pemecatan kepada dua pegawai honorer dan sanksi berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun dari kelas jabatan 7 menjadi kelas jabatan 3 kepada dua orang Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Ketika kasus kembali dibuka, kata Teten, KemenKopUKM mengakomodir kepentingan korban dengan membentuk Tim Independen dengan tugas mencari fakta dan memberikan rekomendasi penyelesaian kasus kekerasan seksual maksimal satu bulan.

Tim tersebut juga akan merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) internal penanganan tindak pidana seksual di lingkungan KemenKopUKM selama jangka waktu tiga bulan

Teten menegaskan pihaknya berkomitmen menerapkan standar baku penanganan kasus terkait kekerasan seksual.

Lebih lanjut, Teten menyatakan bahwa audiensi bersama aktivis perempuan menjadi pertemuan yang sangat produktif untuk mencari solusi penanganan kasus kekerasan seksual. 

“Kemenkop tidak mentolerir praktik tindak kekerasan seksual. Kalau saat ini dianggap masih belum memenuhi azas keadilan, segera kami tindak lanjuti,” tegas mantan Kepala Staf Kepresidenan ini.

KemenKopUKM ungkap Teten,  berkomitmen menerapkan standar baku penanganan kasus terkait kekerasan seksual dan mengupayakan pembentukan sistem penanganan yang lebih baik terutama untuk korban, mulai dari pendampingan fisik dan mental hingga konseling.

Kasus ini sekaligus menjadi momentum untuk KemenKopUKM menyiapkan SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. “Saya sudah bertemu keluarga korban dan kita akan mengakomodir tuntutan dari keluarga korban,” ucap Teten.

Pihaknya dipastikan siap memberikan data pendukung yang diperlukan dan berkoordinasi dengan tim independen, sehingga perlindungan keluarga korban di kementerian dipastikan terjamin dan tidak ada intimidasi apapun.

Aktivis Perempuan Ririn Sefsani menegaskan, tahapan hukum akan terus dilakukan sehingga para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Serta bagi korban mendapat perlindungan dan keadilan dalam pemenuhan hak-haknya.

Ririn menyambut baik KemenKopUKM membuat langkah cepat penyelesaian kasus dengan membentuk tim independen. 

“Jika ini sesuai dengan waktu yang diberikan dan memiliki hasil yang baik, KemenKopUKM akan menjadi role model penanganan kekerasan seksual,” kata Ririn.

Ia menambahkan, adanya Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang telah disahkan menjadi payung hukum yang baik, sehingga hak korban mendapatkan jaminan perlindungan.

Aktivis Perempuan juga akan  berkoordinasi dengan LPSK dan pihak kepolisian dalam penyelesaian kasus. “Sanksi yang ada saat ini belum memenuhi etik. Ini menjadi tugas tim untuk melengkapi dokumen dan berikan sanksi sesuai kejahatan pelaku,” pungkasnya.(S1).

Exit mobile version