“The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” (Milan Kundera)
Ia merasa lebih pantas menjadi Presiden Indonesia, memimpin sebuah republik baru yang tengah bergolak di penghujung tahun 1940-an. Prinsipnya yang keras menyaratkan Indonesia yang merdeka 100% tidak menghendaki kehadiran bangsa lain, karenanya Belanda beserta antek kolonialnya harus enyah.
Bagi Tan Malaka, pejuang kebangsaan yang revolusioner itu, negeri ini membutuhkan pemimpin yang tegas, non kompromistis, alih-alih Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Empat tokoh besar revolusi itu dinilai lembek, para borjuis kecil yang terlalu banyak berdiplomasi.
Tetapi siapa mengenal Tan Malaka, sang tokoh yang ngebet ingin jadi presiden Indonesia ini ? Di panggung sejarah, sosok Tan hanya tampil selintas, ia bukan Soekarno, Hatta atau Sjahrir yang selebriti pergerakan kebangsaan. Tetapi, kontribusi Tan tidak bisa dibilang kecil. Lewat bukunya ‘Naar de Republiek Indonesia’ Tan menuangkan konsep kemerdekaan negeri ini pada 1925. Mengilhami Soempah Pemoeda ataupun ‘Indonesia Vrije’ (Indonesia Merdeka) pledoi Bung Hatta di depan pengadilan Den Haag pada 1928.
Kecintaan pada dunia pendidikan mengirim langkah putra minang kelahiran Suliki Sumatera Barat 1897 ini menuju sekolah pelatihan guru (rijkskweekschool) di Haarlem, Belanda. Seraya menimba ilmu guru yang tidak diselesaikannya, epos Revolusi Rusia (1917) dan setumpuk bacaan Marxis lebih menggugah minatnya masuki kancah politik. Kesadaran idiologisnya mengkristal pada makna kapitalisme, imperialisme dan penindasan kelas. Ia mengukuhkan jati dirinya dengan bergabung dalam komite internasional komunis poros Moskow.
Ketika kembali ke Hindia Belanda pada 1919, Tan sempat mengajar anak-anak kuli kontrak di perkebunan tembakau Deli Sumatera Utara. dan mendirikan sekolah rakyat di berbagai kota di Jawa. Ide tentang persamaan kelas dielaborasi dengan mendirikan organisasi buruh di berbagai bidang, aksi-aksi pemogokan dan menyebarkan komunisme melalui media terkemuka saat itu seperti De Locomotief, Sinar Hindia, Soeara Ra’jat, Oetoesan Hindia atau Het Vrije Woord.
Ia dianggap berbahaya tidak saja oleh penguasa Hindia Belanda, tetapi juga bagi kalangan priyayi Jawa. Ajaran komunis Tan bakal menghilangkan struktur feodalisme yang berabad-abad tumbuh dan dipelihara masyarakat Jawa. Tan diusir ke Belanda pada1922, lama setelah itu tak terdengar lagi hingga 20 tahun berselang ketika ia kembali ke Indonesia pada 1942. Sambil menyelesaikan karyanya yang fenomenal Madilog, Tan bergabung dengan Soekarno dan para pejuang kemerdekaan lainnya. Perbedaan visi yang tajam antara Tan dengan Soekarno, Hatta dan tokoh revolusioner lain menjadikannya oposan. Ia terus bergerilya menuntut kepemimpinan Indonesia berada di bawah kuasanya. Ia mendirikan Partai Murba pada 1948 berazas anti-fasisme, anti-imperialisme dan anti-kapitalisme seraya menggagas Indonesia menjadi negara sosialis. Propagandanya melalui Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi) mendapat sambutan di kalangan militer yang kemudian membentuk Gabungan Pembela Proklamasi.
Rongrongan terhadap negara sudah cukup jadi alasan bagi penguasa untuk membungkam Tan. Maka, di malam suram 19 Februari 1949 di sebuah desa di Kediri, Jawa Timur, sepasukan tentara Divisi Brawijaya menggiringnya ke tepi sungai Brantas. Suara pestol menyalak mengakhiri hidup tokoh revolusi yang kesepian itu. Konon, mayatnya di buang ke Sungai Brantas dan tidak pernah ditemukan. Mohammad Yamin menggoreskan kata-kata di halaman buku autobiografi Tan Malaka ‘Dari Pendjara ke Pendjara’ : “Hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya, Tan Malaka Pahlawan Kemerdekaan Nasional.” Tokoh garis kiri yang dijuluki Bapak Republik Indonesia ini adalah ironi dari ungkapan revolusi acapkali memakan anaknya sendiri. (Irsyad Muchtar)