hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Tahukah Anda Asal Usul Ucapan Minal Aidin Wal Faizin? Inilah Sejarahnya

Ilustrasi: Festival Bedug | Sumber: Jakarta.go.id

PeluangNews, Jakarta – Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran 1446 H/2025 sebentar lagi. Umat Islam suka cita menyambut Hari Kemenangan tersebut.

Di Tanah Air, gema takbir berkumandang sejak malam hari hingga datangnya fajar menyambut perayaan Idul Fitri.

Menjelang datangnya fajar umat Islam berbondong menuju lapangan dan masjid untuk melaksanakan Salat I’d. Setelah itu, masyarakat atau umat Islam Indonesia ber-anjang sana mengunjungi tetangga dan keluarga untuk mengucapkan “minal aidin wal faizin”.

Setiap Lebaran, umat Islam sering kali mengucapkan hal itu sebagai ungkapan doa dan harapan bagi sesama.

Di Indonesia, ucapan ini telah menjadi bagian dari budaya Lebaran. Menurut catatan sejarah, ucapan yang kini menjadi tradisi di Tanah Air ini ternyata pertama kali diucapkan oleh masyarakat Madinah setelah sebuah peristiwa besar terjadi.

Peristiwa itu berkaitan dengan kemenangan umat Islam dalam sebuah peperangan, di mana mereka kembali dalam keadaan selamat dan berjaya.

Sejak saat itu, ungkapan “minal aidin wal faizin”, yang berarti “termasuk orang-orang yang kembali (ke fitrah) dan meraih kemenangan,” mulai digunakan sebagai doa dan harapan baik, khususnya saat Idul Fitri.

Seiring waktu, ungkapan ini semakin populer di berbagai negara, terutama di Indonesia, meskipun sebenarnya bukan bagian dari salam resmi dalam bahasa Arab.

Berikut adalah asal-usul ungkapan “minal aidin wal faizin” yang telah dilansir dari berbagai sumber.

Ungkapan “minal aidin wal faizin” memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan Perang Badar, yaitu pertempuran antara umat Islam dan kaum Quraisy.

Idul Fitri pertama kali dirayakan pada tahun 624 Masehi atau tahun kedua Hijriah, yang bertepatan dengan berakhirnya Perang Badar.

Perang Badar sendiri terjadi pada 17 Ramadan, di mana pasukan Rasulullah SAW berjumlah jauh lebih sedikit dibandingkan pasukan Quraisy. Kaum Muslimin hanya berjumlah 313 orang, sedangkan musuh mencapai 1.000 orang. Namun, dengan pertolongan dan perlindungan Allah SWT, umat Islam berhasil meraih kemenangan.

Kemenangan ini kemudian dirayakan secara besar-besaran sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Dari peristiwa inilah muncul ungkapan “minal aidin wal faizin”, yang dalam versi lengkapnya berbunyi “Allahummaj ‘alna minal ‘aidin wal faizin”, yang berarti “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang kembali (dari Perang Badar) dan memperoleh kemenangan.”

Pada perayaan Idul Fitri pertama ini, umat Islam merayakan dua kemenangan sekaligus. Pertama, keberhasilan menuntaskan ibadah puasa selama bulan Ramadan, yang mengajarkan kesabaran dan pengendalian diri. Kedua, kemenangan dalam Perang Badar yang menjadi tonggak penting dalam sejarah Islam.

Perang Badar merupakan salah satu peristiwa besar yang terjadi pada bulan Ramadan di masa awal perkembangan Islam. Bagi kaum Muslimin, Ramadan bukan sekadar bulan suci, tetapi juga waktu untuk menempa diri dengan menahan lapar, haus, serta mengendalikan emosi. Nabi Muhammad SAW pun bersabda dalam hadis-nya: “Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.”

Baik masyarakat Madinah maupun masyarakat Indonesia memiliki kesamaan dalam mengucapkan “minal aidin wal faizin”, yaitu sebagai ungkapan kegembiraan. Perbedaan-nya terletak pada makna di balik kebahagiaan tersebut.

Bagi masyarakat Madinah saat itu, ungkapan ini menggambarkan kemenangan dalam perang fisik, sementara bagi masyarakat Indonesia, lebih dimaknai sebagai kemenangan dalam menahan hawa nafsu selama bulan Ramadan. Meski konteksnya berbeda, sebagian besar masyarakat Indonesia tetap menganggap bahwa mengucapkan kalimat tersebut tidaklah keliru.

Beberapa sumber lain menyebutkan, ungkapan “minal aidin wal faizin” berasal dari syair yang berkembang pada masa Al-Andalus (wilayah yang kini mencakup Spanyol dan Portugal). Syair ini dikatakan ditulis oleh Shafiyuddin Al-Huli.

Dalam kitab Dawawin Asy-Syi’ri al-Arabi ala Marri Al-Ushur (jilid 19, halaman 182), ungkapan tersebut disebutkan sebagai bagian dari nyanyian yang biasa dinyanyikan oleh para perempuan saat merayakan hari raya.

Syair itu menggambarkan kegembiraan dan doa bagi sesama agar termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali dalam keadaan suci dan meraih kemenangan.

Ucapan ini kemudian berkembang dan digunakan dalam berbagai tradisi perayaan Idul Fitri, termasuk di Indonesia. Meskipun memiliki asal-usul berbeda, maknanya tetap mencerminkan harapan akan kebahagiaan, kesucian, serta keberkahan bagi umat Muslim yang merayakannya. []

pasang iklan di sini