octa vaganza

Suku Banggai, Puak Maritim Tunggal di Sulawesi Tengah

Bangkep populer dengan ubinya yang khas. Ubi Banggai atau Dioscorea sp, yang tumbuhnya menjalar ke atas, digunakan penduduk Banggai dan Luwuk sebagai basis pasokan karbohidrat. Ubi ini dibawa keluarga Raja Ternate yang terusir di masa lampau.

SUKU ini mendiami beberapa area yang tersebar hampir seluruh wilayah Kab Banggai KepulauanKab Banggai Laut, dan sebagian Kab Banggai. Mereka biasanya diperbincangkan berbarengan dengan dua suku bangsa lainnya, yakni Suku Balantak dan Suku Saluan. Meski begitu, ketiga suku tersebut mempunyai adat istiadat dan budaya yang berbeda antara satu dengan yang lain. Penghidupan suku Banggai biasanya petani, nelayan, pejabat pemerintahan, dan lainnya.

Di masa lampau, Suku Banggai pernah menguasai separuh dari area Sulawesi Tengah. Nama besar Kerajaan Banggai mengindikasikan hal itu. Suku ini terdiri dari dua suku, yakni Suku Sea-sea yang menghuni daerah pegunungan dan suku Banggai yang mukim di pesisir pantai. Mereka punya bahasa tersendiri, bahasa Banggai, bahasa yang diturunkan dari Malayo-Polinesia. Mayoritas orang Banggai (73%) memeluk agama Islam. Sisanyaa (25%) Krsten, dan 3% Hindu dan Buddha.

Agama Islam diterima luas di Sulawesi Tengah berkat syiar Abdullah Raqile, tokoh yang lebih dikenal dengan Dato Karamah, seorang ulama dari Minangkabau. Agama Kristen pertama kali diperkenalkan oleh AC Cruyt dan Adrian, misionaris dari Belanda, di wilayah Poso dan bagian selatan Donggala. Sedangkan agama Hindu dan Buddha dibawa oleh para transmigran asal Bali.

Suku Banggai merupakan suku asli Sulawesi yang mendiami Kepulauan Banggai di Kab Banggai Kepulauan (biasa disingkat Bangkep) dan di Kab Banggai. Suku Banggai bisa dibedakan menjadi dua pengelompokan, yaitu suku Banggai Kepulauan yang berada di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Suku Sea-Sea (atau Suku Banggai Pegunungan) yang menghuni daerah pegunungan.

Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan satu-satunya kabupaten maritim di Provinsi Sulteng, yang terdiri dari 123 pulau. Lima pulau terbesarnya yang sebenarnya berukuran sedang adalah Pulau Peleng (luas 2.340 km²), Pulau Banggai (268 km²), Pulau Bangkurung (145 km²), Pulau Salue Besar (84 km²), dan Pulau Labobo (80 km²). Adapun 118 lainnya merupakan pulau-pulau kecil yang kebanyakan tak berpenghuni.

Dengan 123 pulau itu, Bangkep di ujung Sulawesi Tengah memiliki total wilayah daratan seluas 3.160,46 km² dan wilayah laut 18.828,10 km², yang secara administratif terdiri dari 12 kecamatan, dengan sebaran 7 kecamatan di Pulau Peleng, 2 kecamatan di Pulau Banggai, dan 3 kecamatan di pulau-pulau kecil lainnya.

Berpenduduk 376.808 jiwa (data 2019), Kabupaten Banggai dulunya bekas Kerajaan Banggai. Wilayahnya meliputi Banggai Daratan dan Banggai Kepulauan. Potensi sumber daya alam cukup Kabupaten Banggai melimpah, baik berupa hasil laut (ikanudangmutiararumput laut), aneka hasil bumi (kopra, sawit, cokelat, beras, kacang mente) maupun hasil tambang (nikel, dalam taraf eksplorasi) dan gas (Blok Matindok dan Senoro).

Berbagai macam adat dan kebudayaan Suku Banggai dicamkan masyarakatnya dengan takzim. Beberapa di antara yang sangat melekat di hati masyarakat, yang sejatinya memang menarik, adalah musik, di antaranya batongan, kanjar, libul dan sebagainya; di samping tarian seperti OnsulenBalatindakRidan.

Di antaraa tradisi yang dijaga dengan sepenuh hati adalah yang berkaitan dengan ritus keagamaan. Pada saat perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad saw, misanya, warga Suku Banggai senantiasa membuat sejenis kue yang diberi nama Kala-kalas atau Kaakaras. Kue ini tebuat dari tepung beras yang bentuk jadinya digoreng. Kue ‘wajib’ ini hanya bisa dijumpai pada saat perayaan Maulid Nabi saw. Tradisi lain yang juga dilestarikan keberadaannya adalah upacara pelantikan Tomundo dan upacara pelantikan Basalo.

Ekspresi keseharian, kesenian, dan upacara adat mereka yang mukim di tepian pantai berbeda dengan  masyarakat yang tinggal di pedalaman. Faktor geografis sangat menentukan. Dalam upacara adat, para nelayan menangkap ikan dengan cara yang khas dikenal dengan sebutan sero. Di pedalaman, masyarakat menanam sejenis umbian khas yang hanya tumbuh di daerah miring Banggai. Selan ubi, mereka juga menanam padi, jagung, dan cokelat. Sebagian masyarakatnya menjadi nelayan, atau berburu (baasu). Ini kegiatan ‘warisan’ dari zaman pra-Kerajaan Banggai sampai sekarang yang tetap berlangsung di kawasan pedalaman Pulau Peleng.

Bangkep juga populer dengan ubinya yang khas. Namanya ubi Banggai (Dioscorea sp.). Ubi ini termasuk tanaman langka karena hanya bisa dijumpai di Pulau Banggai. Taka da di tempat lain. Di pulau inilah masyarakat membudidayakannya. Data 12 tahun lalu menunjukkan, Bangkep memproduksi hampir 9.000 ton ubi Banggai. Ubi ini banyak terdapat di Kecamatan Banggai dan Lainang.

Bentuknya mirip dengan campuran antara ubi jalar dan ubi kayu. Rasanya seperti percampuran antara ubi jalar dan singkong. Tapi ukurannya lebih besar. Untuk menikmatinya bisa dengan cara digoreng, direbus, atau dijadikan camilan. Bisa juga diolah menjadi tepung, lalu diolah menjadi kue, brownis, atau penganan lain, seperti payot. Kuliner payot ini  khas Bangkep dan hanya bisa dijumpai pada acara ritual mereka.

Ubi banggai tumbuh dengan model menjalar. Batangnya menjalar ke atas seperti sirih. Dioscorea sp ini digunakan sebagai basis karbohidrat bagi penduduk Banggai dan Luwuk. Di dua kabupaten ini ada juga umbi-umbian lain, seperti ubi opa atau dolungun, ubi hutan, ubi alas, dan ubi gadung. Hanya ubi Banggai yang dijadikan makanan pokok oleh penduduk. Adapun opa dimanfaatkan sebagai sayuran, dan ubi hutan/gadung dipakai sebagai obat-obatan tradisional.

Secara historis, ubi Banggai dibawa oleh keluarga Raja Ternate yang terusir. Raja ini migrasi ke Bangkep, membangun komunitas, dan menjadi penguasa di sana. Karena jenis tanah di Bangkep berupa lempung berpasir, khususnya di Tomini dan Peling Barat, tanaman yang cocok tumbuh adalah umbi-umbian. Tak heran, mata pencarian tradisional penduduk setempat umumnya menanam kelapa, sayur, buah dan budidaya umbi-umbian. Kebiasaan menikmati umbi di Ternate tetap mereka bawa ke Bangkep.

Pada zaman Kerajaan Banggai, ubi ditanam dengan ritual yang dinamakan Bapidok. Ubi itu ditanam di lahan miring, dengan usia panen ideal enam bulan. Hasil panen pada umumnya dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri. Kelebihannya baru dijual ke pasar tradisional di Bangkep atau di wilayah lain seperti pasar tradisional Luwuk. Ubi Bangkep ini juga diperjualbelikan di pasar tradisional Kecamatan Toli, Bamtui, Kintom, Luwuk, Mendono, dan Buwon.●(M Fauzian)

Exit mobile version