hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Suku Bajo, Warga Negara Laut Seumur-umur

Bagaimana mungkin orang bisa menyelam di kedalaman 60 meter tanpa alat bantu apapun selama 12-13 menit? Bagi Suku Bajo, yang mustahil untuk ukuran umum justru wajar-wajar saja. Mereka telah melakukannya secara turun temurun, berabad-abad.

ORANG Bajo, atau Bajau, melakoni keseluruhan hidupnya di laut, di atas perahu. Dari lahir, menikah, bertahan hidup, hingga tutup usia. Mereka aslinya komunitas nomaden, mukim secara berpindah-pindah. Belakangan ini mulai menetap di satu kawasan, tapi habitat itu tetap tak terpisahkan dari laut. Maka, jika Suku Asmat di Papua biasa dijuluki ‘manusia sejati’, Suku Bajo layak menyandang predikat ‘pengelana laut sejati’.

Dari mana asal usul mereka? Hingga kini misteri itu belum terjawab. Suku Bajo juga disebut sebagai “Orang Laut”, “Sama Bajau”, atau “Gipsy Sea” itu sebagian kecil tersebar di Filipina dan Malaysia dan sebagian besar bisa dijumpai di perairan Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Nusa Tenggara (Lombok, Flores, Sumba, Sumbawa), Jambi, dan Riau.

Semenjak ratusan tahun lampau, mereka sudah mengarungi sebagian besar lautan Asia Selatan. Untuk bertahan hidup, orang Bajau menyelam di perairan bebas berbekal sebuah tombak sederhana. Meski hanya menggunakan kaca mata pelindung dari kayu, orang Bajo sanggup turun hingga 60-70 meter di bawah permukaan laut. Hebatnya lagi, rerata mereka mampu menahan nafas di bawah air (spearfishing) selama 12-13 menit.

Apa rahasianya? Bagaimana mungkin? Secara teori, saat anda menahan napas dalam air, tubuh anda secara otomatis memicu yang disebut dengan respons menyelam. Respons tersebut membuat denyut jantung melambat, pembuluh darah menyempit, dan kontraksi limpa. Reaksi-reaksi tersebut membantu tubuh untuk menghemat energi saat anda kekurangan oksigen. Itu sebabnya kebanyakan orang hanya mampu menahan napas di dalam air dalam hitungan belasan detik.

Penelitian lapangan Melissa Llardo, kandidat doktor di Pusat GeoGenetika University of Copenhagen, selama beberapa bulan membuktikan hal menarik. Bahwa ukuran limpa orang Bajo ternyata 50% lebih besar ketimbang limpa mereka yang tidak punya kebiasaan menyelam. Ia sampai pada kesimpulan itu dengan bukti-bukti yang direkam mesin ultrasound portabel dan peralatan pengumpulan ludah. Dan ia `merasa berkewajiban mempublikasikan temuan ini di keada masyarakat internasional.

Respons menyelam mirip dengan kondisi medis yang disebut dengan hipoksia akut, dimana manusia mengalami kehilangan oksigen dengan cepat. Kondisi ini sering kali menjadi penyebab kematian di ruang gawat darurat. Memahami bagaimana tubuh bereaksi terhadap kehilangan oksigen bisa menjadi jalan untuk lebih baik mencari penanganan terbaik. Dengan ukuran limpa yang lebih besar, produksi oksigen dalam darah lebih banyak.

Sampan menjadi bagian penting dari kehidupan Suku Bajau. Selain digunakan sebagai alat transportasi, perahu kecil itu juga berguna membawa mereka ke titik penangkapan ikan. Hasil perburuan mereka kelak dijual untuk mendapatkan beraneka barang kebutuhan sehari-hari. Begitulah silus kehidupan berlangsung di sana. Hidup yang melekat dan tak terpisahkan dari laut. Buat orang Bajo, laut adalah (memang) kehidupan itu sendiri.

Suku Bajau sejatinya suku pengembara. Namun, seiring berjalannya waktu, tak sedikit di antara mereka yang memutuskan tinggal dan menetap di suatu tempat. Mereka tak lagi menjadi sea nomadic seperti di masa lalu. Salah satu lokasi di Indonesia yang jadi tempat bernaung orang Bajo adalah kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean di Sulawesi Tengah. Khususnya di Pulau Papan, pulau yang paling banyak didiami orang Bajo.

Sebagian orang Bajo kini menetap secara permanen di perkampungan yang tersebar di area Wakatobi. Di Kaledupa, misalnya, mereka membangun kampung sendiri di tengah laut. Mendirikan fondasi dari batu karang, dan membuat rumah panggung di atasnya. Beberapa langsung mendirikan tanpa pondasi, langsung di tancapkan ke dasar laut.

Kekayaan alam Wakatobi luar biasa. Mulai dari kerapu, kakap, tongkol, hingga tuna bisa didapat dengan mudah. Indonesia memang adalah salah satu pemasok tuna untuk ekspor dunia. Selain itu, Wakatobi juga salah satu daerah segitiga coral dunia, dimana 750 dari 850 jenis terumbu karang dunia ada di sini. Barisan terumbu karang Wakatobi terpanjang kedua di dunia, setelah Great Barrier Reef di Australia.

Jika berkunjung ke sana, anda akan menyaksikan sejumlah pemukiman unik dibangun di atas air. Mereka lebih nyaman berada di air daripada daratan. Anak-anaknya Suku Bajo diajari bertahan hidup di lautan sejak usia balita. Ritual celup bayi dilakukan sejak zaman nenek moyang. Celup bayi membawa bayi menyelam menyeberangi perahu. Upacara ini khusus untuk bayi yang lahir di perahu. Bayi yang lahir di daratan dimandikan di laut setelah menginjak usia 40 hari.

Di Pulau Papan pengunjung dapat menemukan sebuah jembatan panjang sekitar satu kilometer yang menghubungkan Pulau Papan dengan Puau Malenge yang menjadi pusat kelurahan dari wilayah setempat. Di tengah desa terdapat satu tempat yang dinamai Puncak Batu Karang. Di sinilah biasanya jadi tempat para anak-anak Suku Bajo yang ramah bermain bersama para wisatawan. Dari atas puncak ini dapat terlihat keseluruhan panjang jembatan dan juga pemandangan laut di sekitar Pulau Papan.

Warga Bajo mayoritas muslim, walaupun masih kental dengan nuansa kepercayaan terhadap arwah leluhur dan sejenisnya. Meski terkesan sebagai suku primitif, nyatanya ada juga orang Bajo yang sudah mengenal kehidupan modern. Bahkan ada pula yang bekerja sebagai guru atau pegawai. Suku Bajo tinggal mendiami beberapa pulau di kawasan taman nasional yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi Sulawesi Tengah.●(dd)

pasang iklan di sini