hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Sukses Mencuri Panggung, Tapi Masih Sering Gamang

Kalimat ini langsung menggambarkan dua wajah diplomasi Pemerintahan Prabowo–Gibran di tahun pertama: sukses mencuri panggung politik internasional di berbagai forum dunia, tetapi di sisi lain kerap terlihat gamang justru dalam isu-isu krusial.

Dalam isu Israel, kegamangan posisi politik Prabowo Subianto terlihat sangat jelas — atau lebih tepatnya, kompromistis. Tidak tampak kegalakan Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ketika Israel secara sepihak menginvasi Iran, Qatar, apalagi dalam aksi genosidanya terhadap bangsa Palestina. Ketika Israel mengirim rudal ke Teheran dengan dalih menghancurkan fasilitas nuklir di negara Persia tersebut, tak terdengar pernyataan resmi Indonesia yang mengutuk aksi brutal itu. Di pemerintahan sebelumnya, ketegasan Menlu Retno Marsudi sangat terasa; kontras dengan pendekatan hati-hati Menlu di kabinet Prabowo.

Namun di sisi lain, langkah berani Presiden Prabowo kembali hadir di Sidang Umum PBB (September 2025) menjadi momen simbolik penting. Setelah hampir satu dekade absen di forum tertinggi dunia itu, kehadirannya di UNGA ke-80 menandai re-entry Indonesia di pentas global tingkat kepala negara. Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan bahwa “Indonesia is ready to contribute to peace, justice, and sustainable development.”

Ia juga mengumumkan kesiapan Indonesia mengirim 20.000 pasukan penjaga perdamaian untuk misi Gaza dan kawasan lain—sebuah komitmen konkret yang memperkuat citra Indonesia sebagai kekuatan kemanusiaan dunia. Tetapi, pernyataannya yang meminta dunia menjamin keamanan Israel telah melukai hati banyak orang.

Gaya diplomasi Prabowo tampak berbeda dari pendahulunya: lebih realistik, pragmatis, dan berorientasi hasil. Bila era Jokowi menonjolkan diplomasi pembangunan dan moral voice, Prabowo mencoba mengembangkannya ke arah strategic mediation—lebih fokus pada solusi dan posisi tawar. Sikap ini menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, dianggap kurang tegas terhadap Israel dan kebijakan Barat; namun di sisi lain, di mata diplomat global, Indonesia dinilai mulai berperan sebagai mediator yang rasional dan konstruktif.

Selama 2025, Prabowo juga aktif dalam berbagai forum internasional. Ia tampil di G20 Summit di Rio de Janeiro membawa isu green and resilient economy dan reformasi keadilan iklim; menjadi pembicara utama di Forbes Global CEO Conference di Jakarta, mempromosikan model “ekonomi campuran” Indonesia; serta menghadiri BRICS+ Summit di Kazan sebagai tamu kehormatan—menandai keberanian Indonesia menjajaki kemitraan alternatif di luar orbit Barat. Selain itu, Indonesia juga aktif di Munich Security Conference, Shangri-La Dialogue, dan Antalya Diplomacy Forum, memperluas jejaring diplomasi multilateral serta mengukuhkan peran sebagai bridge builder Indo-Pasifik.

Secara geopolitik, arah baru Indonesia mulai terlihat. Pemerintahan Prabowo mencoba melakukan reposisi dari ketergantungan pada G7 ke kemitraan yang lebih seimbang antara Timur dan Barat. Keberanian menghadiri BRICS+ menjadi sinyal jelas bahwa Indonesia tidak ingin sekadar menjadi pengikut arus global, melainkan aktor yang menentukan posisinya sendiri. Langkah ini dipandang sebagian pengamat sebagai upaya membangun kemandirian strategis di tengah dinamika global yang makin polaristik.

Namun, dalam diplomasi ekonomi, performanya belum seagresif panggung politiknya. Nada kebijakan luar negeri ekonomi masih cenderung pragmatis dan defensive. Pemerintah lebih fokus pada hilirisasi mineral, ketahanan pangan, dan energi, tapi belum tampak langkah ofensif memperluas akses pasar lewat perjanjian dagang baru. Negosiasi IEU–CEPA dengan Uni Eropa, yang sudah dimulai sejak era Jokowi, masih belum rampung hingga kuartal III 2025. Tekanan Uni Eropa terhadap isu deforestasi dan ekspor nikel belum diimbangi dengan diplomasi yang cukup keras.

Terhadap kebijakan proteksionis Amerika Serikat di bawah Trump 2.0, Indonesia tampak cari aman, memilih jadi good boy. Ketika Singapura, Malaysia, dan Vietnam menyuarakan penolakan keras atas kebijakan tarif baru AS terhadap produk Asia, Indonesia memilih diam dan menunggu hasil policy review. Sikap ini membuat Indonesia terlihat tidak konfrontatif, tetapi juga kurang proaktif melindungi kepentingan ekspor nasional.

Berbeda dengan era sebelumnya yang menonjolkan trade diplomacy sebagai alat ekspansi ekonomi, kini diplomasi dagang tampak seperti instrumen defensif untuk menjaga stabilitas ekspor komoditas dan investasi strategis. Indonesia lebih sibuk memperkuat self-sufficiency policy di pangan dan energi ketimbang memanfaatkan peluang RCEP atau menjalin CEPA dengan Timur Tengah dan Afrika. Padahal negara-negara tetangga mulai memanfaatkan momentum geopolitik baru untuk memperluas jangkauan perdagangan mereka.

Meski demikian, tahun pertama pemerintahan Prabowo tetap menandai perubahan penting. Indonesia mulai dilihat kembali sebagai middle power yang aktif di panggung dunia. Di tengah perang dingin baru antara blok Barat dan Timur, Indonesia berusaha memainkan peran sebagai penyeimbang—swing state geopolitik yang menjaga otonomi strategisnya. Citra Indonesia di mata dunia pun mulai berubah: bukan lagi sekadar aktivis moral, melainkan aktor rasional yang berusaha menjadi stabilisator kawasan.

Jadi, satu tahun pertama Prabowo di level global memang memperlihatkan dua sisi diplomasi Indonesia. Di satu sisi, sukses mencuri perhatian dunia dengan tampil di forum-forum besar dan berani membuka jalur baru ke BRICS+. Di sisi lain, masih tampak gamang dan berhitung dalam isu-isu sensitif seperti Israel–Palestina, kebijakan Trump, maupun perundingan dagang strategis. Indonesia telah kembali ke panggung, tetapi yang diharapkan sesungguhnya jauh lebih dari itu: diperlukan keberanian lebih dalam memadukan idealisme politik luar negeri dengan ketegasan kepentingan ekonomi nasional. (drp)

pasang iklan di sini