octa vaganza
Kolom  

STRATEGI KEBIJAKAN AGAR KOPERASI MASUK KANCAH GLOBAL

Oleh Ahmad Subagyo[1]

Sebagai entitas bisnis, Koperasi semestinya duduk sejajar dengan entitas bisnis lainnya. Kesejajaran dalam lingkungan bisnis pada umumnya membutuhkan kesetaraan kelas. Kelas bisnis sering di-ukur dari sisi capital, termasuk klasifikasi usaha juga di-ukur dari perspektif capital. Esensi capital ini juga menjadi urgent karena ada yang bersifat closed dan ada juga yang opened. Dalam berbagai literasi keuangan, di sebutkan the goal of a financial manager is to increase the owner’s economic welfare. Kesejahteraan ekonomi para pemilik perusahaan itulah yang menjadi orientasi dari manajemen keuangan. Anggota Koperasi yang diakui sebagai pemilik Koperasi, kenyataannya sampai saat ini tidak diakui sejajar dengan entitas bisnis yang lain.

Poin inilah yang membuat Koperasi kita tidak mampu duduk sejajar dengan entitas bisnis lainnya.

SAHAM DAN SIMPANAN

Dalam berbagai terminologi, sangatlah berbeda antara saham dan simpanan. Saham adalah equitas yaitu tanda kepemilikan seseorang terhadap suatu entitas Lembaga usaha (bisnis) yang mana ekuitas ini melekat pada entitas usahanya. Sedangkan simpanan dalam perspektif keuangan adalah liabilitas atau suatu penempatan dana sementara pada suatu entitas yang melekat pada pemiliknya dan tidak melekat pada entitas bisnisnya, sehingga menjadi kewajiban bagi entitas bisnis untuk mengembalikan kepada pemilik liabilitas sesuai yang diperjanjikan.

Koperasi kita berdiri di dasari dari adanya simpanan-simpanan para anggotanya. Di Indonesia di sebut Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib, walaupun Namanya simpanan, namun jenis simpanan ini memiliki karakter seperti ekuitas. Sebagaimana karakter simpanan dalam perspektif keuangan, sifatnya tidak permanen dan sangat tergantung pada pemilik simpanan. Kepastian keberlanjutan entitas bisnis menjadi uncertainty, padahal dalam logika bisnis “certainty” sangat diperlukan oleh para pelaku bisnis. Kondisi mendasar inilah yang menyebabkan entitas koperasi Indonesia sulit di-terima di kancah global, karena posisi capital yang berbentuk simpanan ini di-nilai sangat berisiko.

RISIKO BAGI PEMILIKNYA

Modal yang memiliki karakter simpanan akan berisiko terhadap nilai. Ekuitas memiliki sifat proporsional terhadap perubahan nilai asset-nya, namun simpanan bersifat statis. Sebagai sebuah ilustrasi: ada Koperasi yang awal berdirinya bermodalkan tidak lebih dari Rp20 juta dengan simpanan pokok sekitar Rp.250ribu/orang, namun setelah 25 tahun lebih nilai asset Koperasi-nya telah mencapai lebih dari Rp. 50M. Ketika ada seorang anggota pendiri meninggal dunia dan ahli warisnya akan mengambil hak warisnya berupa simpanan pokok nilainya tidak berubah dan tetap di terima sebesar Rp. 250.000,-.  Di sinilah risiko yang perlu menjadi perhatian pada semua pihak, terkadang di awal pendirian saat Koperasi belum besar, masalah belum muncul tapi tatkala membesar pengorbanan para anggota founding father-nya menjadi terabaikan.

Berbeda dengan karakter saham, nilai saham dapat berubah-ubah sesuai nilai perubahan asetnya dan juga nilai perusahaan (corporate value)-nya. Nilai modal berupa saham melekat pada entitasnya, pemiliknya mungkin berganti, namun ekuitasnya tetap dipertahankan pada nilai dasarnya. Sehingga kemungkinan untuk meningkat nilainya menjadi terbuka, sedangkan kemungkinan untuk turun di jaga. Barangkali sebagai contoh, ada modal dasar pendirian perseroan dan ada modal di setor pada nilai yang disepakati oleh para pemiliknya. Sehingga kepastian dan keberlangsungan suatu perseroan yang memiliki ekuitas tertentu di lindungi oleh Undang-Undang.

Sementara Modal Koperasi yang berbasis simpanan akan cenderung berfluktuasi naik dan turun tergantung pada keluar masuknya anggota Koperasi.

Modal Koperasi yang berbasis simpanan menjadikan Koperasi terisolasi dari system perekonomian nasional, bahkan perekonomian global. Barangkali akan ada pertanyaan, kalau modal koperasi berupa saham, lalu apa bedanya dengan perseroan?

Perbedaan Koperasi dengan Perseroan tetap pada jatidiri Koperasi dan prinsip-prinsip Koperasi. Kepemilikan yang berbasis keanggotaan dan keanggotaan yang aktif berpartisipasi pada Koperasinya. Kepemilikan Koperasi tetap tidak dapat di miliki secara terbuka, namun terbuka bagi para anggotanya. Jika demikian Koperasi tidak dapat menjadi emiten di Pasar Saham? Iya, Koperasi akan memiliki Pasar Tersendiri dan di sinilah ekosistem dan infrastruktur pasar koperasi dapat di bangun untuk mendorong pertumbuhan Koperasi menjadi pemain dan pelaku ekonomi di tingkat nasional dan global.

Lalu, apa manfaatnya mengubah simpanan menjadi modal?

Selain nilai modalnya akan menyesuaikan dengan perubahan nilai asset perusahaannya, ekuitas berbasis modal akan terbuka jalan yang lebih luas dalam mendapatkan akses permodalan, terutama akses untuk mengeluarkan obligasi atau surat hutang melalui mekanisme Pasar Saham.

RISIKO BAGI PIHAK TERKAIT

Modal berbasis simpanan sangat berisiko bagi para kreditur. Kasus-kasus besar telah terjadi dan sudah berapa banyak korban yang kehilangan dananya gara-gara menyimpan dananya di Koperasi yang gagal (default). Sementara pengurus dan pengelola masih banyak yang melenggang kangkong menikmati asset Koperasi tanpa terusik harta pribadinya. Dampak modal berbasis simpanan, kewajiban yang melekat pada para pemilik Koperasi sebatas pada dana yang disimpannya dalam bentuk simpanan pokok dan simpanan wajib di Koperasinya. Ketika rasio liabilitas lebih tinggi di bandingkan dengan modalnya dan tiba-tiba usaha “gagal”, maka nilai pengganti untuk para pemilik dana simpanan sebatas pada nilai simpanannya saja.

Kondisi seperti inilah yang menempatkan entitas koperasi sulit untuk diterima oleh entitas lainnya, terutama pihak-pihak terkait bagi para pemilik dana, investor dan Lembaga keuangan lainnya.

KOPERASI SULIT MEMILIKI ASET

Koperasi-Koperasi besar yang konon memiliki asset beratus-ratus Milyar bahkan triliunan, adakah memiliki Tanah Bersertifikat miliknya sendiri?, adakah memiliki kendaraan dan mobil sendiri? Adakah memiliki surat berharga sendiri? Lalu asset-aset itu milik siapa? Ternyata asset-aset itu dititipkan pada para pengurus dan pengawasnya. Menurut hemat penulis, bukan salah mereka juga? Karena Negara belum menempatkan Koperasi sebagai entitas bisnis yang mandiri. Negara juga tidak salah karena Koperasi dianggap tidak memiliki modal, sehingga sebagai entitas mandiri Koperasi belum dinilai memenuhi syarat.

Kepemilikan asset yang dititipkan atas nama pengurus dan pengawas Koperasi ini bukan berarti tidak berisiko, justru sangat berisiko bagi para anggotanya sendiri sebagai bagian dari pemilik Koperasi. Beberapa kasus sering kita dengar, Ketika pengurus yang dititipi asset koperasi tiba-tiba meninggal dunia, para ahli waris mengkooptasi asset Koperasi karena atas nama orang tua mereka.

PENUTUP

Persoalan klasik yang kita lihat terang benderang namun semua tutup telinga dan tak berani bicara. Ini persoalan mendasar yang menjadi salah satu factor Koperasi sulit bergerak maju, kalaupun sudah telanjur maju dan besar berpotensi menimbulkan masalah besar juga.

Akar permasalahan kelembagaan inilah yang tidak banyak pihak memperhatikan, walaupun di tengah-tengah praktek perkoperasian kita, pengenalan istilah modal sudah ada yang menggunakannya bahkan di praktekkan dalam menjalankan organisasi dan kelembagaan Koperasinya.

Pemerintah sebagai Pembina , pengayom, dan  pelindung warga negara-nya melihat fenomena ini sudah semestinya segera malakukan koreksi, lalu merubah kebijakan dan Menyusun strategi jangka Panjang untuk mengokohkan Koperasi sebagai Soko Guru Perekonomian kita ke depan.

[1] Ketua Umum Indonesia Microfinance Expert Association (IMFEA).


Exit mobile version