octa vaganza
Fokus  

Sirna Rp362 Triliun/10 Pekan, Mimpi Buruk Berlanjut?

Masyarakat berpenghasilan menengah ke atas cenderung menahan konsumsi. Pangsa di bawahnya terpapar dampak pandemi dan kebijakan PSBB. Pendapatan menurun bahkan hilang/ter-PHK. Maka, insentif pemerintah harus fokus memacu daya beli.

SEPERTI prediksi banyak pihak, tak kecuali Sri Mulyani Indrawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q II 2020 negatif. Di Q III, “Konsumsi rumah tangga yang tadinya masih bisa tumbuh di sekitar 3 persen akan mengalami pelemahan lebih lanjut di kisaran 0 (nol) persen,” ucap Menkeu Sri Mulyani. Hal ini sudah tercermin dari rendahnya inflasi atau kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK). BPS mencatat, inflasi secara bulanan hanya 0,07 persen pada Mei 2020. Di sisi lain, pergerakan IHK mengalami deflasi tiga bulan berturut-turut—ini pertama kali sejak krisis ekonomi pada 1998/99.

Hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional bisa terkontraksi lebih dalam dari perkiraan Menteri Keuangan,  yang menyebut akan terjadi -3,1 hingga -3,8 persen pada Q II 2020. “Menkeu sudah menyampaikan prediksi ekonomi Indonesia yang akan alami kontraksi -3,1 persen. Tapi, kalau kami lihat dari trading ekonomi, kemerosotan itu bisa lebih dalam (-4,8 persen), bahkan ada yang prediksi sampai -7 persen,” sebut Kepala BPS, Suhariyanto.

Pertumbuhan plus dan minus itu terkait dengan deflasi dan inflasi. BPS mencatat deflasi pada Juli 2020 sebesar 0,10 persen. Deflasi itu membuat inflasi selama Januari-Juli (year to date/ytd) sebesar 0,98 persen dan 1,54 persen secara tahunan. Inflasi 2020, kata Kepala BPS Suhariyanto, yang terendah sejak tahun 2000 (1,2 persen yoy). Dalam ekonomi, deflasi artinya suatu periode dimana harga-harga secara umum jatuh dan nilai uang bertambah. Deflasi adalah kebalikan dari inflasi alias jumlah uang beredar di masyarakat terlalu banyak.

BPS mencatat deflasi tiga bulan berturut-turut terjadi sebesar -0,1 persen pada Juli, -0,05 persen pada Agustus, dan -0,05 persen pada September 2020. “Terakhir deflasi berturut-turut terjadi pada 1999, mulai Maret sampai September,” ucap Suhariyanto. Kondisi deflasi beruntun itu menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih sangat rendah dan jauh dari pulih akibat tertekan dampak pelemahan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 dan  konsekuensi pemberlakuan kebijakan PSBB.

Inflasi tahun kalender yang masih rendah pada 2020 juga menunjukkan rendahnya tingkat penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat realisasi penyaluran jaring pengaman sosial (social safety net) berupa bantuan tunai dan bantuan sosial lainnya. “Supaya daya beli masyarakat dapat meningkat sehingga dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional,” ujar Ekonom Bank Permata, Josua Pardede.

Jika dicermati, penyumbang deflasi itu tiga kelompok. Dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau terjadi deflasi 0,73 persen sehingga memberi andil 0,19 persen kepada deflasi Juli 2020. Komoditas yang mengalami penurunan harga, yaitu bawang merah, daging ayam ras, bawang putih, beras, cabai rawit, dan gula pasir. Dua kelompok pengeluaran lainnya yang mengalami deflasi adalah kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,01 persen, serta kelompok transporasi sebesar 0,17 persen dengan andil 0,02 persen.

Dari pantauan BPS di 90 kota di Tanah Air, 53 kota mengalami deflasi dan 37 kota mengalami inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Kupang yaitu sebesar 0,92 persen. Penyebab utamanya adalah penurunan harga beberapa komoditas seperti ikan, daging ayam ras, angkutan udara. Sedangkan deflasi terendah terjadi di Sibolga, Tembilahan, Bekasi dan Banyuwangi, yaitu sebesar 0,01 persen. Inflasi tertinggi terjadi di Meulaboh sebesar 0,88 persen, akibat kenaikan harga komoditas seperti emas perhiasan, minyak goreng dan beberapa jenis ikan. Sedangkan inflasi terendah ditemukan di Batam, Kediri dan Kotamobagu, yang masing-masingnya 0,02 persen.

Sepanjang Januari-Mei 2020, inflasi hanya 0,9 persen. Sedangkan inflasi tahunan, Mei 2019—Mei 2020, tak leih dari 2,19 persen. Inflasi rendah seperti ini bisa dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan (supply) yang berlebih di samping rendahnya permintaan (demand) konsumen. Dalam kasus kali ini, kedua penyebab tersebut berjalan paralel. Pada hemat Ketua Umum Aprindo, Roy N Mandey, lambatnya pemulihan bisnis ritel tak lepas dari kondisi daya beli masyarakat menengah ke bawah. Pada lapis sosial di atasnya, belanja barang-barang konsumtif bukanlah prioritas.

Gambaran skematisnya begini. Pada semester pertama 2020, pertumbuhan ritel modern telah tergerus hingga 60 persen gegara rendahnya daya beli yang disebabkan oleh banyaknya karyawan yang dirumahkan dan/atau kena PHK, kekhawatiran masyarakat menjadi sasaran pandemi jika keluar rumah. Roy Mandey menengarai, sekitar 40 ribu gerai dari 600 anggota Aprindo sempat berhenti beroperasi. Hal ini otomatis membuat penjualan dan omzet ritel menurun.

SEBUAH kuantifikasi menarik yang dikemukakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. Bahwa daya beli masyarakat Indonesia hilang sekitar Rp362 triliun akibat tekanan pandemi Covid-19. Dasar perhitungannya: jumlah jam kerja yang hilang akibat kebijakan PSBB. “Pandemi dari tanggal 30 Maret sampai 6 Juni 2020, atau kira-kira 10 pekan, menghilangkan jam kerja yang luar biasa. Daya beli yang sirna sekitar Rp362 triliun. Fakta inimenjelaskan kenapa penghasilan UMKM turun drastis,bahkan industri manufaktur utilisasinya hanya tinggal 30 persen dalam 10 minggu itu,” ujar Menteri PPN, Suharso Monoarfa.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi nasional makin dalam dipicu oleh sejumlah faktor.  Pertama, penurunan pendapatan. Hasil survei BPS mencatat, 70,53 persen responden dengan tingkat pendapatan Rp1,8 juta per bulan mengalami penurunan. Begitu juga yang dirasakan oleh 30,34 persen responden bergaji di atas Rp7,2 juta. Kedua, penurunan pertumbuhan sektor-sektor industri masih berlanjut pada Q II 2020. Sebut saja perdagangan, industri, pertanian, pertambangan, konstruksi, transportasi dan pergudangan. 

Ketiga, penurunan jumlah penumpang angkutan udara dari 13,62 persen pada kuartal I 2020 menjadi minus 87,91 persen pada kuartal II 2020. Keempat, tingkat inflasi rendah sekitar 0,07 persen secara bulanan pada Mei 2020. Pelemahan daya beli mudah dideteksi dengan pergerakan inflasi inti, yang turun tajam Mei 2020; Kelima, ekspor anjlok lebih tajam hingga 28,9 persen pada Mei 2020, meski impor juga turun 42 persen pada bulan yang sama; Keenam, lengangnya transportasi, dimana jumlah penerbangan dari Jakarta ke Surabaya turun 96 persen, ke Denpasar turun 95 persen.

Ketujuh, ada penurunan harga komoditas seperti karet dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oils/CPO) yang selanjutnya turut menurunkan Nilai Tukar Petani (NTP). Kedelapan penurunan penjualan kendaraan bermotor dan elektronik. Terakhir, penurunan tajam jumlah iklan lowongan kerja (>50 persen) pada Mei 2020. 

Siapa pun mafhum, Covid-19 menghantam dua sisi sekaligus, supply terganggu dan demand rendah, yang diperparah oleh pemberlakuan kebijakan PSBB di berbagai daerah. Pelemahan daya beli juga terkonfirmasi dari rendahnya inflasi inti. Angka inflasi inti hanya 0,13 persen secara bulanan dan 1,86 persen secara tahunan pada September 2020. “Ini menunjukkan daya beli masyarakat masih sangat-sangat lemah. Selama Q III 2020, daya beli itu relatif belum berubah,” ujar Suhariyanto.

Konsumen masyarakat berpenghasilan menengah ke atas cenderung menahan konsumsi. Masyarakat berpenghasilan menengah dan lapis di bawahnyalah yang paling terdampak pandemi dan kebijakan PSBB. Income menurun/hilang, daya beli merosot, ditambah PHK. Mau tak mau, insentif pemerintah harus fokus ke konsumen untuk mendongkrak daya beli. Program perlindungan sosial, mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Bantuan Sosial Tunai (Bansos Tunai), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Dana Desa, Kartu Prakerja, hingga gratis dan diskon listrik bagi masyarakat miskin.●(dd)

Exit mobile version