octa vaganza

Singkawang, Setumpak Hongkong di Nusantara

Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya berdiri sejak 1878 dan menjadi ikon Kota. Tepat di belakangnya terdapat Masjid Raya Singkawang yang dibangun 1885. Eksistensi dua tempat ibadah itu menandakan kerukunan kehidupan umat beragama.

KOTA Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar), dinobatkan Setara Institute sebagai kota paling toleran di Indonesia, beberapa tahun lalu. Peringkat paling bawah ditempati oleh Tanjung Balai, Sumatera Utara. Kota Singkawang saat ini dipimpin Wali Kota perempuan, Tjhai Chui Mie, sedangkan Wakil Wali Kota dijabat H. Irwan.

Kinerja administratif kota ini terbilang bagus. Tanggal 17 Oktober lalu, Singkawang memasuki usia ke-18. Tahun lalu, Kota Singkawang untuk pertama kalinya mendapatkan predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK. Singkawang juga memperoleh penghargaan Ki Hajar Dewantara Award 2018 untuk bidang pendidikan berbasis teknologi Informasi, di samping Penghargaan Kota Peduli Hak Asasi Manusia selama dua tahun berturut-turut, yaitu 2016 dan 2017.

Toleransi di kota berpenduduk mayoritas etnis keturunan itu merupakan keharmonisan yang terus dijaga. Setiap tahun pimpinan Pemda melepas pawai takbir keliling yang akan dipusatkan di panggung takbir halaman Mesjid Raya Singkawang. Di kota ini juga digelar Festival Cap Go Meh secara meriah saban tahun.

Kerukunan yang terus dirawat akhirnya membuat kota ini dua tahun lalu dinobatkan oleh Setara Institute menjadi kota paling toleran di Indonesia versi Setara Institute. Kota Singkawang di posisi teratas, diikuti Kota Salatiga; Pematang Siantar; Kota Manado; Ambon; Kota Bekasi; Kota Kupang; Kota Tomohon; Kota Binjai; Kota Surabaya.

Beberapa puluh tahun yang lalu, Singkawang menjadi kota persinggahan para penambang emas asal Cina sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Monterado. Dua kawasan yang berada di Kalimantan Barat (Kalbar) itu memang berdekatan. Hanya sekitar satu jam perjalanan.

Para penambang yang berbahasa Cina dengan logat Khek menyebut kota ini dengan nama San Keuw Jong, yang berarti kawasan dengan mata air mengalir dari gunung sampai laut. Merasa bahwa bertani dan berdagang lebih menjanjikan, maka para penambang lalu memutuskan untuk berubah profesi dan menetap di Singkawang.

Saat ini Singkawang sudah mulai berkembang menjadi kota yang sibuk.

Jumlah penduduk Singkawang sekitar 250 ribuan. Mayoritas warga keturunan Tionghoa; disusul Dayak dan Melayu. Urutan agama yang dianut adalah Buddha, Khonghucu, Islam, Katholik, Protestan, Tao, Hindu. Banyaknya penduduk keturunan Tionghoa yang memeluk Buddha dan Khonghucu membuat banyaknya bangunan vihara atau kelenteng yang dibangun di Singkawang. Kota ini bahkan mendapat dua julukan, yaitu ‘Kota Seribu Kelenteng’ dan ‘Hong Kong-nya Indonesia’.

Berbagai tradisi tahunan khas Tionghoa pun rutin diselenggarakan di sini, seperti Imlek, Cap Go Meh dan Ceng Beng. Bahkan, salah satu pawai yang diselenggarakan setiap Cap Go Meh, Pawai Tatung terbesar di dunia. Pawai tersebut merupakan perpaduan dari budaya Tionghoa dan Dayak.

Tidak sulit untuk mengunjungi kota bercuaca panas terik ini. Mendarat di Bandara Internasional Supadio di Pontianak, ke Singkawang butuh sekitar empat jam perjalanan. Tak banyak pilihan tempat menginap. Tercatat hanya ada empat hotel yang ada di sana, dengan tarif Rp120 ribuan sampai Rp700 ribuan.


Jelajah Pulau.

Senasib dengan pantai-pantai di pelosok Tanah Air, Pantai Samudera terlihat sepi. Hanya ada beberapa warung sederhana yang menjual kopi dan mie instan. Disarankan untuk membawa bekal sendiri jika anda ke sana. Pantai Samudera berpasir putih dengan ombak yang tenang, oleh karena itu banyak wisatawan yang datang untuk berenang.

Selalu gunakan alas kaki sebelum menyicipi tepi pantainya. Sebab, walau berpasir putih, banyak pecahan karang yang cukup tajam. Nah, Pulau Lemukutan sudah di depan mata. Suasana di sini terbilang lebih ramai, karena adanya kampung nelayan. Wisatawan luar negeri lebih memilih menginap di sini, karena pilihan tempat menginapnya lebih banyak, dengan tarif mulai Rp200 ribuan per malam.


Belanja Oleh-oleh.

Singkawang terkenal dengan buah durian yang bernama Serondeng dan tumbuh lebat di hutan perbukitan. Dari awal sampai pertengahan tahun, buah tersebut panen, bersama buah langsat (duku) dan rambutan. Salah satu toko oleh-oleh khas Singkawang terletak di Jalan Hermansyah. Di sini dijual manisan dan dodol buah serta sayur, seperti durian, salak, nanas, tomat.

Yang banyak dibeli sebagai oleh-oleh adalah Dodol Durian dan Manisan Nanas. Tak puas hanya membeli durian dalam bentuk dodol, puluhan duren dijajakan di atas terpal, di pinggir jalan. Yang paling besar dihargai Rp30 ribu per buah, yang lebih murah jika membeli dalam jumlah banyak.


Pasar Hong Kong dan Kelenteng.

Kelenteng memang mendominasi. Itu karena mayoritas penduduk Singkawang mayoritas keturunan Tionghoa yang memeluk agama Khonghucu. Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya berdiri sejak 1878 dan menjadi ikon Kota. Tepat di belakangnya terdapat Masjid Raya Singkawang yang dibangun 1885. Eksistensi dua tempat ibadah itu menandakan kerukunan kehidupan umat beragama.

Di dekat kelenteng ini ada pasar yang juga legendaris, bernama Pasar Hong Kong. Sebagian besar toko menjual pakaian jadi dan barang elektronik. Tapi, ada juga beberapa toko yang menjual pakaian khas Tionghoa yaitu cheongsam. Warnanya cerah dan dibuat dalam berbagai ukuran, dari bayi sampai orang dewasa.

Choi Pan.

Menikmati camilan khas etnis Tionghoa, yaitu choi pan. Tak perlu menunggu lama untuk menyantap, karena menu choipan hanya dimasak dengan teknik kukus selama 15 menit dengan tungku kayu bakar. Banyak tempat makan di Singkawang masih menggunakan tungku kayu bakar. Menu choi pan memiliki isian yang beragam, mulai dari bengkoang, kucai, dan lobak. Choi pan bisa dimakan langsung atau dengan saus sambal. Orang dewasa sanggup menghabiskan 15-20 butir choi pan.

Untuk menikmati malam, ada satu tempat di Singkawang. Yakni Singkawang Grand Mall sudah beroperasi, sehingga masyarakat di sini tak perlu lagi menghabiskan waktu 8 jam untuk bolak balik ke Pontianak hanya untuk menonton bioskop atau berkaraoke. Pusat keramaian ini juga menggelar acara live band dan DJ di lobinya setiap malam Minggu. Masyarakat Singkawang yang haus akan hiburan tampak betah menggamit suasana malam.●(dd)

Exit mobile version