Januari ini tepat setahun sudah sejak Kementerian Koperasi UKM mengafirmasi kehadiran Koperasi Multi Pihak (KMP), sebuah terminologi baru model koperasi di Indonesia. Kendati belum memasyarakat secara umum, namun kehadiran koperasi ini diklaim sudah cukup lumayan. Pemerintah pun agaknya kesengsem dengan model yang diyakini mampu menjawab tantangan bisnis koperasi di era digital ini sehingga tanpa basa basi KMP diwadahi secara formal melalui regulasi Peraturan Menteri Koperasi (Permenkop) No 8 Tahun 2021.
Ibarat balita yang baru mulai berdiri, tentu tidak banyak yang bisa kita tuntut dari kehadiran KMP. Namun di percaturan koperasi dunia, KMP bukan model baru. Adalah Hebden Bridge Fustian Manufacturing Co-operative Society di Inggris yang belakangan ditahbiskan sebagai model KMP pertama di dunia, koperasi yang sejatinya jenis pekerja (worker co-operative) ini berdiri pada 1870 dan dianggap sukses menjalani usahanya di pabrik benang fustian (kanvas) selama 45 tahun. Hebden Bridge diakuisisi oleh The Cooperative Wholesale Society pada 1918.
Nah, bagaimana cerita kebangkitannya di Indonesia? Dalam percakapan dengan Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) Firdaus Putra, secara formal KMP sudah beroperasi pada April 2022 sejak disahkan pada 21 Oktober 2021. Hingga per Desember 2022 lalu tercatat sebanyak 14 KMP berdiri berdasar Data Online System di Kementerian Koperasi dan UKM. “Ini termasuk awal yang baik karena tidak ada insentif apa-apa dari pemerintah,” ujarnya. Untuk memahami KMP, sambung Firdaus harus dilihat dengan paradigma baru alih-alih melihat dengan kaca mata lama. Harus ada shifting paradigm bahwa KMP diterima ICA dan negara-negara lain, hal itu membuktikan keabsahan model ini.
Dalam terminologi Permenkop No8/2021 KMP didefinisikan sebagai koperasi dengan model pengelompokkan anggota berdasarkan peranan kelompok pihak anggota dalam suatu lingkup usaha tertentu yang disesuaikan dengan kesamaan kepentingan ekonomi, keterkaitan usaha, potensi, dan kebutuhan anggota. Bingung ? Wajar karena ini memang area baru bagi model bisnis koperasi. Lantaran kebingungan tersebut diskursus KMP menghangat dalam diskusi informal ‘Pertemuan Reboan’ Asosiasi Profesi Perkoperasian Indonesia (APPI) Desember lalu. Lembaga ini memang terbilang baru namun layak diperhitungkan lantaran para pendiri dan anggotanya dominan para pensiunan pejabat di Kementerian Koperasi UKM serta sejumlah nama lain yang cukup kondang di perkoperasian. Diskusi awal yang ramai dan bekembang melalui WhattsApp ini dimulai dari pernyataan singkat Sekjen APPI Untung Tri Basuki. Ia menilai Permenkop tentang KMP sesungguhnya melanggar UU Perkoperasian, yaitu pada pelaksanaan prinsip demokrasi pada koperasi (pasal 5 jo. Pasal 24 ayat 3 UU No 25/1992 Tentang Koperasi). “Prinsip one man one vote yang berlaku dalam koperasi primer dilanggar dan dalam Permenkop itu diatur menjadi prinsip proporsional,” kata Untung yang pernah dua kali menjabat Deputi Kelembagaan Koperasi KemenkopUKM.
Pernyataan tersebut diamini Sarjono Amsan. Menurutnya multi pihak yang mengambil keputusan berdasarkan porsi saham atau andil bukanlah koperasi. Kasus seperti ini kata dia sudah lama ada, tapi diselesaikan dengan “jantan” seperti yang dulu dilakukan Bank Bukopin yang beralih ke Persero. Tegasnya, timpal Sekjen Dekopin ini, ia tak bisa bayangkan jika UU Koperasi yang baru memasukkan prinsip one man one vote namun mengecualikan suara berdasarkan saham untuk KMP.
Benarkah seperti itu adanya? Menurut Aditya P Patria, notaris, proporsi suara sebenarnya ada pada masing-masing pihak yang tetap mengutamakan one man one vote, tapi di Rapat Paripurna (Multi Pihak) berlaku porsi suara yang berbeda-beda. “Masing-masing Kelompok memiliki porsi suara yang bisa diatur dalam Anggaran Dasar, misalnya A 90%, B 5% dan C 5%. Jika tidak salah seperti itu, jadi seperti Koperasi Sekunder dengan perbandingan Anggota. Mohon maaf jika keliru tapi saya juga masih mempelajari alasan pemerintah membuat KMP ini,” tutur Aditya.
Meluruskan pemikiran Aditya, Untung menjelaskan pemberian hak suara secara proporsional hanya berlaku untuk Rapat Anggota Koperasi Sekunder. Sedangkan pemberian delegasi luas kepada AD/ART koperasi dalam pengaturan Pasal 9 ayat (8) akan dimanfaatkan oleh kelompok anggota yang mempunyai posisi kuat (misalnya, kelompok pemilik modal, pemilik aplikasi, pemilik market place), sehingga sangat berbahaya dan dapat merugikan kelompok anggota yang posisinya lemah (antara lain, kelompok anggota konsumen dan kelompok anggota lain yang posisinya lemah). Lagi pula, apa dasarnya pemerintah ikut campur dalam prinsip proporsional dalam koperasi.
Masalahnya KMP sudah kadung hadir. Dan menurut Heira Hardiyanti, advisor perkoperasian yang belakangan aktif berkecimpung di International Co-operative Alliance (ICA) KMP atau multi stakeholders atau hybrid sudah sejak lama ada di Indonesia. “Pada umumnya yang saya temui adalah di koperasi karyawan ataupun fungsional, walaupun ada juga yang di koperasi produsen,” ujarnya. Heira mengaku pernah bekerja di koperasi karyawan dan sekaligus menjadi anggotanya. Dua unsur itu menurutnya sudah mewakili kehadiran KMP karena ada konsumen dan pekerja yang menjadi anggotanya.
Yakinkah dengan KMP?
Pertanyaan menohok dilontarkan Hasan Jauhari. “Yakin kah dengan KMP,” kata Ketua Bidang Inovasi dan Standar Kompetensi Profesi Perkoperasian APPI ini. Ia mengaku masih gagal paham tentang konsep KMP, lihat saja misalnya pasal 4 ayat 2 Permen No 8/2021. Yang mengganjal dalam benak saya adalah koperasi kok bisa ya dijadikan wadah meresolusi kelompok-kelompok yang kepentingannya berbeda. Ini menyelisihi definisi International Co-operative Identity Statement -ICIS,” ujar mantan Staf Ahli MenkopUKM ini. Menurut dia, mengapa dipaksakan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan berbeda bergabung dalam satu wadah koperasi, apa karena alasan supaya skalanya besar? Buat apa besar kalau prinsip dikorbankan. Kenapa tidak diejawantahkan saja melalui implementasi prinsip koperasi yang ke-6 (kerja sama antar koperasi- red). Biarlah masing-masing koperasi kuat memegang prinsipnya. Mereka bekerjasama membangun konglomerasi.
Hasan belum melihat ada bukti empiris KMP yang mumpuni.
“Kopkar, KPN, NTUC, Mondragon, menurut saya bukan KMP, sebagaimana maksud dari pasal 4 ayat 2 tersebut,” timpalnya. Lantaran itu, masih kata Hasan, harus dibedakan antara profesi/pekerjaan dangan kepentingan. Koperasi hanya bisa dijadikan alat bagi apapun latar belakang profesi, pekerjaan, ras, agama, dan lain sebagainya asal mereka memiliki kesamaan tujuan dan kepentingan. Ini yang di amanatkan oleh ICIS. “Paradoks. Jika kelompok A dengan kepentingan/tujuan (a), akan bergabung dengan kelompok B dengan kepentingan/tujuan (b) dalam satu wadah koperasi, padahal (a) tidak sama apalagi bertentangan dengan (b), “tukasnya seraya menegaskan koperasi hanya akan jalan apabila dia memang benar-benar koperasi (istiqomah dengan nilai dan prinsip). “Saya pikir munculnya KMP bukan hanya persoalan ijtihad semata. Ini menyangkut persoalan mendasar, sudah masuk wilayah bergesernya aqidah berkoperasi,” tandasnya. Namun begitu Hasan berharap ada pihak yang bisa meyakinkan dirinya tentang konsep dan implementasi KMP.
Apakah harus ditolak?
Menolak KMP tanpa memahami bagaimana mekanisme dan manfaatnya bagi pembaharuan perkoperasian nasional agaknya pikiran naif, kata Akhmad Junaidi, mantan peneliti di KemenkopUKM yang kini aktif di Pusat Riset Koperasi, Korporasi dan Ekonomi Kerakyatan. Ia mengajak peserta untuk melakukan kajian bedah buku tentang KMP terutama yang berkembang cukup bagus di sejumlah negara. “Menolak dan kritis terhadap KMP sangat bagus, tapi budaya mau berbeda pendapat dan mendengar akan menambah kearifan seseorang,” ujar Junaidi yang juga penulis buku Manajemen Usaha Koperasi Multi Pihak. Menurutnya KMP masih sejalan dengan prinsip standar ICA dan ia tidak melihat adanya pelanggaran prinsip demokrasi one man one vote. Yang berbeda dari KMP adalah pendekatan keanggotaannya dimodifikasi sedikit dari semula homogen (satu pihak) menjadi lebih heterogen (multi pihak) dengan tujuan yang sama bekerja dan saling tolong menolong.
Sejumlah poin penting pada akhir diskusi tanpa kesimpulan itu adalah ada kesepakatan tidak tertulis bahwa KMP tidak hanya masih berupa anomali dalam perkoperasian, tetapi juga menyimpan potensi pre competition. KMP agaknya lebih cocok diterapkan untuk koperasi yang bersifat sosial (social co-op), seperti halnya yang banyak berlaku di negeri lain melalui pendekatan sociocracy dalam pengambilan keputusan. Dan terpenting, mengutip Hans Munkner dalam KMP seyogianya tidak ada one man one vote karena kelompok yang jumlah anggotanya banyak bakal mendominasi.