
Peluang News, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan terkait gugatan atas kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).
Persidangan ini menghadirkan pakar studi akuntansi Universitas Indonesia Sandra Aulia sebagai ahli. Dalam sidang, Sandra mengaku khawatir naiknya PBJT untuk lima kategori hiburan dapat berakibat pada naiknya angka pengangguran.
“Misalnya, kalau kita break down, di-fix cost, variable cost itu tetap harus ditanggung. Fix cost kita kurangi karena penjualan berkurang sehingga ketika fix cost-nya dikurangi ya berarti ketika punya karyawan, karyawannya di-layoff (pemutusan hubungan kerja) gitu,” kata Sandra, Rabu (28/8/2024).
“Efeknya adalah ya mungkin kita akan menyumbang pengangguran kalau dari sisi multiplier effect,” tambah dia.
Sandra menegaskan efek domino akibat melonjaknya tarif pajak hiburan ini tidak terletak pada potensi naiknya jumlah pengangguran saja.
Efek bergandanya juga dapat merembet ke rantai pasok seperti rempah-rempah yang digunakan dalam usaha SPA. Apalagi, dasar atas pengelompokkan dan tarif pajak hiburan yang dikenakan juga dinilai tak melibatkan partisipasi masyarakat, stakeholder, serta mengabaikan prinsip-prinsip kebijakan publik/kebijakan pajak yang baik.
Dia juga menilai beleid itu diteken tanpa adanya sinkronisasi kebijakan daerah yang optimal.
“Efek dominonya akan banyak multiplier effect-nya (efek berganda), misalnya penjualannya berkurang tapi beban-beban yang harus ditanggung tetap ada,” kata dia.
Isu kenaikan pajak hiburan ini berawal dari revisi UU HKPD pada 2022 ketika Indonesia dilanda pandemi Covid-19.
Lima jasa yang dianggap masuk kategori hiburan khusus, yakni karaoke, bar, kelab malam, diskotek, dan SPA, kini dikenakan tarif pajak batas bawah sebesar 40% dan batas atas 75%.
Penetapan tarif pajak atas kategori jasa di atas ada di tangan pemda dalam rentang 40-75% itu.
Protes juga datang dari kalangan pegiat SPA. Bukan hanya karena tingginya tarif pajak, tapi dimasukkannya SPA yang notabene layanan kesehatan ke dalam kategori hiburan dinilai tidak tepat. []