
Maunya sih publik bisa happy ketika dengar pengumuman pemerintah bagi-bagi izin pertambangan kepada Ormas Keagamaan (OK). Selain dianggap punya jasa terhadap kemerdekaan Indonesia di masa lalu, OK diharapkan jadi agen pemerataan ekonomi di lapis akar rumput (grassroots). Tetapi niat baik saja agaknya belum cukup, juga harus dilihat apakah proses dan sasarannya sudah representatif.
Apa pasal OK yang selama ini sudah nyaman di ranah dakwahnya masing-masing, tiba-tiba harus disibukkan dengan urusan bisnis super gede. Tak pelak, tiga ormas yang berafiliasi dengan gereja menolak hadiah tersebut. Tetapi dua rekannya yang lain, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah siap kelola tambang. Soal apakah kedua ormas tersebut punya skill, itu urusan lain. Pokoknya pemerintah mau bikin gebrakan populis dulu lah.
Untuk melegalkan program “bagi-bagi roti”itu, pemerintah menerbitkan PP No 25 Tahun 2024 yang memberikan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada OK dengan dalih peningkatan kesejahteraan masyarakat. Boleh jadi, izin tambang Freeport selama ini kurang nendang bagi perekonomian rakyat sehingga perlu libatkan OK yang selama ini berperan sebagai penjaga moral masyarakat, termasuk moral pejabat.
Kendati mendapat banyak sindiran, namun beleid tersebut layak kita lanjutkan dan kawal, apakah sudah berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya kita catat pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa yang mendapatkan WIUPK adalah badan usaha yang dimiliki oleh OK, baik berbentuk Koperasi maupun Perseroan Terbatas (PT). Artinya, yang mendapat WIUPK bukan ormasnya.
Masalahnya apakah OK punya Koperasi atau PT yang klasifikasi usahanya memenuhi syarat untuk kelola tambang?
Bisa saja izin tambang tersebut, diserahkan kepada mitra atau pihak ketiga. Maka, ada dua hal yang perlu kita ingatkan;
Pertama, risiko reputasi: menyerahkan konsesi kepada pihak lain bisa menimbulkan risiko reputasi jika pihak tersebut tidak mengelola tambang dengan baik dan merusak lingkungan, atau terlibat dalam praktik yang merugikan. Nama besar NU dan Muhammadiyah yang dibangun bertahun-tahun bisa hancur seketika.
Kedua, mitigasi risiko. Perlu ada perjanjian jelas dan kuat yang melindungi hak-hak NU atau Muhammadiyah, termasuk klausul tentang pengakhiran kerja sama jika pihak lain melanggar kesepakatan atau menjalankan operasi secara tidak etis.
Ada pilihan lain yang saya kira bisa berdampak besar dan positif bagi NU dan Muhammadiyah. Yakni, pelibatan koperasi dalam pengelolaan tambang. Hal ini bisa menjadi strategi penting untuk memastikan pengelolaan yang inklusif, berkelanjutan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Tentu saja yang saya maksudkan adalah koperasi dengan tata kelola profesional. Memang tidak banyak yang tahu bahwa sangat banyak koperasi dengan tata Kelola yang baik.
Di Jatim saja terdapat puluhan koperasi skala besar, di antaranya ada Koperasi UGT Nusantara Pasuruan yang mengelola aset di atas Rp2 triliun. Di Pontianak Kalimantan Barat ada Koperasi Kredit Pancur Kasih dengan aset Rp3,4 triliun, KSP Makmur Mandiri di Bekasi Jawa Barat dengan aset Rp1,2 triliun atau di Tangerang Banten ada Koperasi Benteng Mikro Indonesia dengan aset Rp1,2 triliun. Jika ingin mencari mitra koperasi yang lebih besar lagi bisa menghubungi Kospin Jasa di Pekalongan yang kini mengelola aset hampir Rp10 triliun.
Sayangnya info koperasi-koperasi keren seperti ini tak terekspose secara luas, sehingga yang selalu muncul ke ranah publik hanya koperasi program ataupun koperasi binaan yang melulu hanya menunggu bantuan dan hibah murah dari pemerintah.
Apakah koperasi-koperasi tersebut mampu mengelola tambang? Pertanyaan bodoh seperti itu belakangan memang sering muncul di media sosial, tidak hanya melecehkan kapasitas koperasi tapi juga melemahkan lobi OK. Ketika sejumlah taipan dapat konsesi kelola HPH di Kalimantan, memangnya mereka punya duit dan punya ahli kehutanan? Ayo NU dan Muhammadiyah, maju terus, bangun lobi kumpulkan para ahli dan undang koperasi besar kelas triluner.[]