octa vaganza
Fokus  

Siap-siap Resesi Di Depan Mata

Pandemi Covid-19 semakin memperberat beban perekonomian yang sebelumnya sudah melemah. Pertumbuhan diprediksi  negatif pada kuartal II dan III tahun ini. Jika ini terus berlanjut, krisis besar hanya soal waktu.

Perlahan namun pasti, pandemi Covid-19 mulai membuat limbung perekonomian di banyak negara. Di Asia, baru Singapura dan Korea Selatan yang secara resmi menyatakan ekonominya memasuki resesi.

Pertumbuhan ekonomi Negeri Singa  minus 41,2% pada kuartal II tahun ini setelah pada kuartal sebelumnya minus 0,7%. Sementara Negeri Ginseng mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar minus 3,3% dimana kuartal sebelumnya juga minus 1,3%.

Seperti diketahui, sebuah negara disebut resesi jika pertumbuhan ekonominya bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Morgan Stanley dalam risetnya bertajuk Asia Economic Mid Year Outlook, mengungkapkan beberapa negara di ASEAN akan masuk ke jurang resesi pada kuartal II  dan kuartal III tahun ini.

Malaysia diperkirakan terkontraksi hingga 13% pada kuartal II ini dan diprediksi akan  kembali terkontraksi pada kuartal III nanti sebesar 6%. Filipina ekonominya telah minus 0,2% pada kuartal I 2020 dan berpotensi minus hingga 14 persen pada kuartal II. Sementara ekonomi Thailand sudah minus 1,8% pada kuartal I lalu dan diperkirakan akan minus 10% pada kuartal berikutnya.

Resesi ekonomi yang terjadi tidak terlepas dari perlambatan ekonomi global. Bahkan seluruh lembaga riset dunia memprediksi ekonomi pada tahun ini akan anjlok. Intervalnya bervariasi dari minus 1,1% seperti prediksi JP Morgan sampai minus 6% yang dirilis OECD.

Pandemi Covid-19 pun memaksa Economist Intelligence Unit (IEU) merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan ekonomi di seluruh negara. Tidak ada negara yang akan aman dari terjangan badai virus tersebut.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Menurut hasil riset dari lembaga yang sama, negeri yang terkenal dengan sebutan gemah ripah loh jinawi ini juga tidak akan lepas dari ancaman resesi. Kabar kurang sedap itu diprediksi akan terjadi pada kuartal III (Juli-September) nanti dimana pertumbuhan ekonomi akan minus 1,5%, setelah sebelumnya minus 5%.

Prediksi Morgan Stanley itu dikonfirmasi oleh otoritas keuangan di sektor fiskal dan moneter. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam beberapa kesempatan mengungkapkan ekonomi nasional akan mengalami kontraksi pada kuartal II ini. Terakhir, Menkeu memperkirakan produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan minus 3,5% hingga 5,1% dengan titik tengah minus 3,8%. Kontraksi ini diperkirakan akan terus berlanjut sampai kuartal III meski tidak disebutkan nilainya.

Senada dengan Menkeu, otoritas moneter Bank Indonesia pun memperkirakan PDB di kuartal II ini minus 4% hingga minus 4,8%.  “Tak hanya BI, Pemerintah juga memprediksi di kuartal kedua akan tumbuh negatif 4%,” kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, via video conference.

BI memperkirakan pola pemulihan perekonomian bisa U-Shaped akibat pemulihan yang relatif lebih lambat dari perkiraan semula. Pemulihan yang cenderung lambat ini sejalan dengan tetap tingginya penyebaran virus Covid-19. Bahkan kini, beberapa daerah mulai kewalahan menghadapi melonjaknya jumlah kasus pandemi tersebut.

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 hanya 2,97%. Pertumbuhan itu merupakan yang terburuk sejak krisis 1998.  Hal ini seiring dengan buruknya data konsumsi masyarakat yang hanya tumbuh 2,84% persen.

Padahal, selama ini sektor konsumsi merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi. Selain anjloknya sektor konsumsi, realisasi pertumbuhan investasi juga melorot dari 4,06% pada akhir 2019 menjadi 1,70%.

Menurut pengamat ekonomi, Anton Hendranata dampak negatif Covid-19 sudah terasa di kuartal II ini. Kemungkinan dampaknya bisa lebih buruk lagi di kuartal III karena telah diberlakukannya Pembatasan Sosial Skala Besasr (PSBB) sejak April 2020 di berbagai daerah. “Sebagian besar sektor usaha mengalami perlambatan kecuali jasa kesehatan,” ungkap Anton via video conference.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga anjlok, terendah sejak Q2-2001. Namun, masih didukung dengan baik oleh konsumsi kesehatan dan pendidikan serta konsumsi F&B, juga equipment. Sedangkan  konsumsi lainnya mengalami perlambatan signifikan, bahkan negatif pertumbuhannya (pakaian dan transportasi/komunikasi). Dari sisi investasi, perlambatan pertumbuhannya terendah sejak Q3-2009 dan terjadi di hampir semua sub sektor, kecuali investasi kendaraan.

Penyebaran wabah Covid-19 yang belum selesai menambah berat beban perekonomian. Sebab, sebelum merebaknya virus tersebut, kondisi ekonomi pun sudah melambat baik dari sisi pasokan maupun permintaan.

Penjualan mobil komersial untuk kegiatan produksi juga turun signifikan dan bahkan terburuk sejak 2004. Begitu pula dengan penjualan semen yang turun signifikan.

Sementara dari sisi permintaan (konsumsi), trennya juga melorot sebesar 39,8% dari Januari 2018 sampai Mei 2020. Ini menandakan bahwa sebelum Covid-19 sisi permintaan pun sudah melemah. Datangnya virus itu semakin memperdalam pelemahan tersebut.

Anton menambahkan, ketidakpastian akan akhir dari pandemi ini berdampak besar terhadap perekonomian. Bahkan beberapa lembaga riset global pun kesulitan untuk memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Ini terlihat dari interval yang sangat jauh dari hasil prediksi yang dirilis. “Perekonomian akan terus bergerak dalam ketidakpastian yang tinggi akibat Covid-19,” ungkapnya.

Setitik Harapan Saat Resesi

Meski secara makro kondisi ekonomi akan suram, namun masih ada beberapa sektor yang tetap bertahan dan diprediksi akan cepat pulih usai berlalunya pandemi Covid-19. Lembaga Dcode memetakan sektor yang berpotensi besar untuk tumbuh yaitu agribisnis, e-commerce, ICT, Personal dan alat-alat kesehatan, makanan dan produk olahannya, serta pelayanan jasa medis.

Sektor pangan dan kesehatan akan cepat tumbuh karena bagaimana pun orang membutuhkan makanan dan dukungan peralatan kesehatan agar tetap prima kondisi tubuhnya. Selain itu, sektor telekomunikasi juga akan positif karena kini trennya adalah pertemuan virtual yang membutuhkan dukungan data internet.

Oleh karenanya, meski resesi hampir pasti datang di Indonesia namun masih terdapat sektor usaha yang bisa dijadikan sebagai sandaran hidup. (Kur).

Exit mobile version