Nasabah bakal merogoh kocek lebih dalam untuk membayar kewajiban menyusul mekarnya suku bunga simpanan perbankan.Kondisi rupiah yahng terus tertekan terhadap dollar AS akhirnya memaksa Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate menjadi 5,75% pada akhir September lalu, melonjak 150 basis poin (bps) sejak awal tahun.
Depresiasi rupiah cukup dalam mencapai 8,97%, lebih rendah dari India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki. Dalam pernyataan resminya, Bank Sentral beralasan keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman. Selain itu, untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik sehingga dapat semakin memperkuat ketahanan eksternal.
Kontan saja lonjakan BI rate mendorong perbankan untuk berlomba-lomba menaikkan suku bunga deposito. Dalam laporan indikator likuiditas Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) rata-rata bunga deposito benchmark LPS pada akhir Agustus 2018 mencapai 5,7% naik 9 bps dari akhir Juli 2018.
Hal yang sama juga terjadi pada rata-rata suku bunga minimum yang naik 5 bps ke posisi 4,81%. Sementara bunga deposito valas pada periode yang sama juga mengalami kenaikan. Rata-rata kenaikan 8 bps. Bunga deposito valas maksimal naik 12 bps dan bunga deposito valas minimum 3 bps.
LPS juga mengonfirmasi, kenaikan suku bunga simpanan terjadi di semua kelompok bank, dimana yang tertinggi di kelompak Bank BUKU 3 dan BUKU 4. Ini diperkuat dengan data BI pada 27 September 2018, yang mengungkapkan rata-rata bunga deposito untuk semua jangka waktu naik dibanding posisi Juni 2018. Ambil contoh, bunga deposito rupiah jangka 12 bulan menjadi 5,9%, naik dari 5,7% dibanding 3 bulan sebelumnya.
Kenaikan suku bunga simpanan ini pada akhirnya akan mendorong lonjakan bunga kredit. Ini dilakukan perbankan untuk menutupi lonjakan cost of fund agar labanya tetap tebal. Sementara dari sisi nasabah, konsekuensinya akan merogoh kocek lebih dalam untuk membayar cicilan angsuran.
Dengan daya beli masyarakat yang melemah, kenaikan bunga bank akan semakin memberatkan. Hal ini diprediksi akan memperlambat sisi konsumsi yang selama ini menjadi kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dunia usaha alih-alih melakukan ekspansi, mereka akan fokus mengencangkan “ikat pinggang” untuk sekadar mempertahankan putaran roda usaha.
Selama ini, pembiayaan dari perbankan masih mendominasi sumber modal pelaku usaha di Indonesia. Oleh karenanya, denyut nadi usaha sangat sensitif terhadap pergerakan suku bunga kredit. Setidaknya sampai tahun depan, kondisi dunia usaha yang lesu bakal terus berlanjut sejalan dengan tren pelemahan rupiah.