Idul Adha pertama di Pakistan, penulis jalani di sebuah desa bernama Chak 6, di daerah Tehsil Bhalwal, Distrik Sargodha, Provinsi Punjab pada tahun 2005. Chak dalam bahasa Urdu berarti Desa, jarak dari Islamabad lima jam perjalanan darat. Di Chak 6, penulis tinggal di rumah Irfan, teman sebelah kamar yang mengambil program master Information Technology (IT) di International Islamic University Islamabad (IIUI). Sekarang Irfan telah menggondol gelar PhD-nya dalam bidang yang sama, IT.
“Dulunya, kakek-nenek kami tinggal di India. Tapi setelah terjadi pemisahan India dengan Pakistan, maka kami semua hijrah dari India ke Pakistan.” Ayah Irfan memperkenalkan asal-usul keluarganya. Keluarga sederhana, tinggal di rumah yang terbilang sederhana.
Lelah perjalanan sirna seketika. Perjalanan ke rumah Irfan memang tidak mudah dan tidak sebentar. Dari hostel IIUI, kami mengendarai taksi ke stasiun bus Pirwadhai, Rawalpindi. Dari Pirwadhai, kami naik bus ke arah Lahore, kemudian keluar tol kira-kira setelah 3 jam menyusuri jalan tol.
Satu jam pertama menyusuri jalan tol, pemandangannya hanya batu yang tandus. Jalanan menurun terus karena menuju dataran yang lebih rendah. Namun setelah dua jam ada pemandangan yang menakjubkan. Gunung dibelah untuk ruas jalan tol. Jadi kami lewat di tengah-tengah gunung yang terbelah. Sempat terlihat jembatan yang membentang di atas lembah yang sangat dalam dari satu gunung ke gunung yang lain.
Kami turun dari bus tidak lama setelah menyeberangi sungai yang sangat lebar, yaitu sungai Jheulum. Sungai fenomenal yang membentang di utara Pakistan dan India. Dengan panjang 813 km, sungai ini merupakan sungai terbesar di wilayah Punjab. Nama Jheulum sendiri disematkan karena sungai ini memang melewati daerah Jheulum. Warna kehijauan permukaan air sungainya sangat menyegarkan setiap mata yang memandangnya. Konon, dengan menyeberangi sungai ini, Alexander Agung dan pasukannya berhasil menaklukkan Porus, Raja India, pada tahun 326 SM.
Setelah turun, kami naik bis tiga perempat ke Bhalwal. Kurang lebih 1 jam perjalanan. Dari Bhalwal, kami dijemput oleh ayah Irfan dengan motor. Jadilah kami bertiga satu motor dari Bhalwal ke Chak 6. Kurang lebih setengah jam naik motor, barulah kami sampai di rumah Irfan.
Kalau dari Bhalwal melihat ke arah rumah Irfan, kita akan mendapati pemandangan yang sangat indah. Sebuah panorama alami yang sisi kiri dan kanannya terdapat perkebunan jeruk Kino, yang di Indonesia disebut jeruk Kino Pakistan.
Pohon jeruk Kino itu tidak tinggi. Karena buahnya banyak, maka dari jauh tampak bintik-bintik kuning. Saat musim dingin begini, memang sedang musim berbuahnya jeruk Kino.
Kunjungan penulis bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Maka, kami segera bersiap menuju masjid untuk shalat Idul Adha. Disanalah didapati fenomena menarik lainnya. Begitu memasuki areal masjid, terlihat orang-orang mengumpulkan uang di halaman masjid.
“Untuk apa uang itu?” tanya penulis pada Irfan sembari menunjuk aksi penggalangan dana di halaman masjid itu.
“Untuk Imam,” jawabnya. “Semua uang yang terkumpul akan diberikan kepada Imam.”
“Bagus juga, ya. Jadi sementara Imam fokus mengurus masjid, jamaah turut andil dalam memberikan tunjangan finansialnya. Kalau uang yang diberikan rata-rata 100 Rupees, dengan jumlah jamaah sekitar 300 orang, maka akan terkumpul uang sebesar 30 ribu Rupees atau setara dengan 5 juta Rupiah saat itu. Artinya, Imam mendapat THR 5 juta Rupiah di Hari Raya,” seloroh penulis setelah menghitung-hitung.
Setelah acara shalat Idul Adha, semua jamaah menyalami sang Imam sambil bersholawat. Keluar dari masjid pun semua orang bersalaman sambil berpelukan. Disini, tidak terlihat perempuan yang ke masjid, semuanya laki-laki.
Sesampai di rumah Irfan, penulis disuguhi nasi kuning yang rasanya manis dan Kir. Kir adalah nasi bubur putih yang dicampur susu, tanpa gula. Beginilah makanan di Hari Raya bagi orang-orang Pakistan.
Seusai makan, semua orang bersiap-siap untuk menyembelih sapi atau kambing kurban. Hal yang tidak pernah terlihat di Indonesia, hampir semua rumah di kampung ini menyembelih hewan kurban-nya di depan rumah masing-masing.
“Di sini, semua rumah menyembelih hewan kurban ya?” tanya penulis penasaran melihat darah berceceran di sepanjang jalan.
“Memang dalam mazhab Hanafi, sangat ditekankan ibadah kurban ini. Bahkan ia mendekati wajib. Oleh karena itu, semangat ber-kurban di sini sangat terasa. Bagaimana dengan di negaramu?” Irfan balik bertanya.
“Kalau di Indonesia, binatang-binatang kurban dikumpulkan di masjid, kemudian semua orang menyaksikan pemotongan hewan kurban-nya di halaman masjid itu.”
“Ini yang miskin bagaimana?” Penulis masih menyimpan penasaran, bagaimana sebuah desa yang tampak sebagai kumpulan penduduk miskin namun dapat menunaikan kurban hampir di setiap rumahnya.
“Orang-orang di sini mungkin memang tidak cukup kaya. Rumah kami memang hanya berlantaikan tanah dan beratapkan jerami. Tetapi kami punya peliharaan kambing dua, tiga, empat, bahkan lima ekor.”
Penulis mengangguk-angguk, menyimak paparan Irfan. “Jadi,” lanjut Irfan. “Kalau hanya minum susu, insyaAllah kami minum dari susu kambing yang kami miliki. Setiap tahun, kambing yang kami punya itulah yang dikurbankan satu ekor.”
Suasana lebaran memang sangat terasa di kampung ini. Dengan mengenakan baju baru, anak-anak menyaksikan hewan kurban dipotong oleh ayah, paman, atau kakak mereka di halaman rumah mereka.
Sebelum Dzuhur, hidangan daging kurban sudah tersaji. Penulis disuguhi sepiring Cawal (nasi dimasak dengan bumbu Pakistan) dan sepiring daging terpisah. Setelah makan, disuguhi Chai (teh dan susu yang direbus dengan ditambahi gula) dan jeruk Kino.
Setelah Dzuhur, penulis diajak Irfan silaturrahim ke rumah pamannya. Di rumah itu, kami disuguhi lagi jeruk Kino, Apel, Kacang dan Chai. Wah, suasananya seperti Idul Fitri di Indonesia.
Andai saja di Indonesia tradisi mudik dilaksanakan ketika Idul Adha dan bukan saat Idul Fitri, maka dampak ekonominya tentu akan luar biasa. Kalau orang yang mudik kemudian membeli sapinya di desa, maka ekonomi desa akan hidup. Tidak perlu orang desa yang membawa kambingnya ke kota. Dengan begitu, ekonomi desa akan menggeliat, membuka lapangan pekerjaan di desa, dan dapat menekan angka urbanisasi ke kota. Sehingga kota tidak tambah padat karena penumpukan populasi, serta akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang merata antara desa dan kota. Ide ini sudah penulis narasikan dalam buku berjudul ”Manajemen Syariah dalam Praktik” yang ditulis bersama Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, tahun 2003 dengan penerbit Gema Insani Press.
Mari kita lihat data hewan kurban 2 tahun terakhir. Pada tahun 2018 ada 1,5 juta ekor hewan kurban. Pada tahun 2019 naik 10% dari tahun 2018. Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan Syamsul Ma’arif menyebutkan bahwa jumlah ternak kurban tahun 2020/1441 H yang akan dipotong secara nasional diprediksi berjumlah 1,8 juta ekor, terdiri dari domba 392.185 ekor, kambing 853.212 ekor; kerbau 15.653 ekor dan sapi 541.568 ekor (Republika.co.id, 15 Juli 2020). Melihat data ini, sungguh ekonomi kurban ini tidak bisa dianggap sebelah mata. Setidaknya sudah ada buku yang menulis tentang ekonomi kurban ini, yaitu, buku berjudul ‘Ekonomi Kurban’ yang ditulis oleh Prof. Bambang Soedibyo, ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan penerbit Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (PEBS UI) dan BAZNAS.
Esoknya, setelah sarapan Paratha, telor dan nasi beserta daging, penulispun pamit ke keluarga Irfan. “Ini sebagai hadiah dan kenang-kenangan.” Ayah Irfan menyodorkan sebuah bingkisan berplastik. Di dalamnya sebuah bahan baju dan sapu tangan. “Terima kasih,” jawab penulis malu-malu. “Memberi hadiah kepada tamu seperti ini memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat sini,” Irfan menjelaskan sembari mengantar penulis ke tempat menunggu bus.
Di bus menuju Islamabad, penulis membandingkan semangat kurban di Pakistan dengan di Indonesia. Di Pakistan, orang miskin saja berkurban. Kesimpulannya, berkurban bukan masalah berharta atau tidak, tapi masalah bertaqwa atau tidak. Tidak percaya? Lihat Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 37.
[1]Penulis adalah wakil direktur sekolah pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Anggota Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Ketua pengawas syariah Kopsyah BMI.