Lantaran mencuri sepotong roti, ia mendekam di penjara selama 19 tahun. Jean Valjean nama lelaki itu, bukanlah tokoh jahat. Keadaan ekonomi yang sulit memaksanya mencuri sepotong roti agar bisa memberi makan kepada saudara perempuan dan anak-anaknya agar tidak kelaparan. Ia melawan karena merasa diperlakukan tidak adil, setidaknya ia mafhum bahwa adalah kewajiban negara untuk memastikan bahwa setiap hari harus selalu ada makanan untuk rakyatnya.
Perlawanan Jean membentur tembok penjara yang angkuh, ia tak hanya dihukum kerja paksa begitu lama karena sikap kritisnya melawan sistem yang pongah, setelah mendapat pembebasan bersyarat, Jean terus diintai yang memungkinkan ia bisa diciduk setiap saat untuk dikembalikan ke bilik penjara.
Jean Valjean hanya tokoh fiktif yang ditulis Victor Hugo (1802-1885) dalam novel terkenalnya Les Miserables; sebuah fiksi berlatar belakang masa kelam depresi ekonomi di Perancis abad ke-19.
Sepotong roti, kelaparan, penjara, dan tentu saja romantisme menjadi daya tarik Victor Hugo dalam dalam meramu Les Miserables yang terbit pada 1862. Penulis yang hidup, berkarya dan mati di Perancis ini mafhum tentang negerinya yang di pengujung abad 18 tak henti dirundung rusuh, kelaparan dan ketidakadilan. Dan revolusi perancis yang pecah di tahun 1789-1799 itu tidak hanya dipicu oleh rasa ketidakadilan penguasa yang hidup mewah di tengah utang negara yang menumpuk, tetapi juga oleh kelaparan masif akibat ketiadaan roti.
Satu dekade sebelum liberte, egalite, fraternite dikumandangkan, Perancis sudah rusuh dilanda The Flour War (Perang Tepung), ini bukan pesta syukuran seperti halnya perayaan Ash Monday tradisi kuno warga kota Pelabuhan Galaxidi, Yunani menjelang Paskah ataupun Festival Els Enfarinats di Kota Ibi, Spanyol.
Sepanjang April hingga Mei di tahun 1775, Perancis dilanda Perang Tepung, ratusan kerusuhan dan penjarahan meruyak dimana-mana. Pasalnya, panen yang buruk selama bertahun-tahun menyebabkan stok gandum menipis, produksi roti langka dan harganya pun mahal. Pemicu lainnya, bukan hanya karena faktor cuaca yang tidak bersahabat, otoritas penguasa menghapus kontrol harga roti dan mempercayai laissez-faire sebagai pengendali kebijakan harga dan penentu mekanisme pasar.
Di tahun-tahun menjelang akhir pemerintahan aristokrat Perancis itu, harga roti yang tinggi dan massa yang kelaparan jadi pemicu utama bagi meletusnya revolusi. Tetapi kita mafhum bahwa perang, kelaparan dan kematian adalah tiga sejoli yang saling berkelindan. Kelaparan akibat perang saudara di AS (1861-1865), telah menimbulkan ‘Kerusuhan Roti’ yang terjadi di belahan selatan. Pada 2 April 1863 di ibu kota Konfederasi Richmond, Virginia, ribuan orang kebanyakan kaum perempuan menjarah toko-toko guna mencari makanan. Pasalnya adalah perang berkepanjangan, inflasi dan harga barang yang melangit.
Seperti abai pada sejarah, Presiden Anwar Sadat di Mesir mengulangi hal yang sama ketika memangkas subsidi 25 produk makanan pokok, termasuk roti, minyak goreng, gula dan teh. Kebijakan sepihak itu dibalas massa dengan meletusnya Intifada Al-Khobz (Revolusi Roti) pada 18 Januari 1977. Pemberontakan spontan ini dipicu oleh kesewenangan penguasa yang seenaknya memotong subsidi bahan makanan dan pada sisi lain menaikan harga komoditas pokok hingga 100 persen.
Di Rusia pada 1917, kaum komunis garis keras, Bolshevik, sukses membakar semangat rakyat untuk menjatuhkan Tsar Nikolai II, dengan mengusung slogan “Roti, Perdamaian dan Tanah. Pemimpin Bolshevik, Vladimir Ilyich Lenin, tahu persis bagaimana menjual isu kelaparan yang masif waktu itu sebagai pemantik revolusi.
Apakah kejatuhan dan kebangkitan suatu negara ditentukan oleh perut rakyatnya yang kenyang? Boleh jadi begitu.Tetapi sejarah mengingatkan bahwa suatu negara dikatakan buruk apabila membiarkan rakyatnya kelaparan sembari membentangkan karpet merah kepada institusi ekonomi yang eksploitatif.[]