octa vaganza

Semangat Tinggi Perajin Tenun NTT di Sarinah

JAKARTA—–Kegembiraan Cletus Beru,50 tahun begitu meluap.   Kain Tenun Ikat Sikka buah kerja keras para perajin Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur  diminati para pembeli yang mengunjungi stand-nya di area Pekan Kain Tradisional Nusantara, Selasa (29/10/19).

“Hingga hari ini kami mendapat omzet Rp200 juta, kami berterima kasih kepada Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) dan pihak Sarinah yang memberikan kesempatan kepada kami untuk ikut berpartisipasi,” ungkap Cletus, yang memimpin beberapa perajin.

Tentunya pendapatan itu  juga dibagi untuk sekitar 150 perajin tenun ikat  di desa Uma Uta, yang telah bekerja keras ikut melestarikan kain tenun yang sudah turun temurun.

“Kain Tenun Ikat Sikka itu warisan turun temurun yang punya filosofi dan akar budaya yang kuat, terkait upacara adat, pernikahan hingga pemakaman, “ jelas Ketua Sanggar Doka Tawa Tana ini.

Untuk membuat sehelai Kain Tenun Ikat Sikka dibutuhkan waktu satu hingga enam bulan.  Harga sehelai kain dibandroll antara Rp700 ribuan hingga Rp13 juta.  Kain itu diberi pewarnaan alami di antaranya dari akar mengkudu, daun indigo, daun loba, kulit pohon mangga dan tumbuh-tumbuhan lainnya.  

Untuk keperluan event Pekan Kain Tradisional Nusantara yang berlangsung sejak 21 hingga 31 Oktober 2019, Cletus dan rombongannya membawa sekitar 100 helai kain.  Peluang melihat hanya tersisa belasan kain yang dipajang.  Sementara di stand-nya tampak kapas lokal, guci berisi pewarna alami hingga alat tenun, lengkap dengan seorang perajin yang memperagakan cara menenun.

Saya juga menemui Juwita Toya, seorang perajin lainnya dari NTT, yaitu dari Ende.  Juwita sudah menenun sejak umur enam tahun hingga saat ini menginjak umur 45 tahun. 

Seperti halnya Tenun Ikat Sikka, tenun  di Ende juga dikerjakan dengan ketekunan membutuhkan waktu 5-7 bulan menyelesaikan satu helai.  Pewarnaan juga alami dari tumbuh-tumbuhan dan dicampur dengan air laut.

“Saya datang dari keluarga turun-temurun menjadi penenun. Mulai dari buyut, “ ujar dia seraya mengatakan penghasilan perajin tidak menentu, kecuali ada event seperti ini. Dia paling tinggi mendapat Rp30 juta, itu juga dalam event.

Menurut Juwita, kerajinan Tenun Ikat Ende menghadapi persoalan regenerasi.  Anak gadis sekarang tidak banyak yang mau belajar menenun. Namun Juwita tetap bersemangat untuk melestarikan tenun daerahnya.

“Saya ingin melestarikan tradisi,” pungkas dia (Irvan Sjafari).

Exit mobile version