
Peluang News, Jakarta – Sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memenuhi target produksi migas di tengah ketatnya persaingan global dan fluktuasi harga energi.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan hal tersebut di Jakarta, Rabu (27/11/2024).
“Salah satu penyebab utama tantangan besar dalam pencapaian target produksi adalah cadangan migas nasional yang terus menyusut,” kata dia.
ReforMiner Institute, merupakan lembaga riset independen bidang ekonomi energi. Menurut Komaidi, berdasarkan data SKK Migas 2024, lifting minyak bumi hanya mencapai 605,5 ribu barel per hari (mbopd), jauh di bawah target APBN sebesar 660 mbopd.
Sedangkan untuk lifting gas bumi mencatatkan peningkatan sebesar 2,2% menjadi 960 ribu barel setara minyak per hari (mboepd) pada 2023.
Di sisi lain, data Kementerian ESDM Februari 2024 mencatat cadangan minyak hanya tersisa 4,7 miliar barel. Sementara cadangan gas berada di angka 55,76 triliun kaki kubik (TCF). Sedangkan 60% wilayah kerja migas tergolong lapangan tua, yang membutuhkan teknologi mahal untuk mempertahankan produksi.
Komaidi mengutarakan bahwa kondisi ini memerlukan terobosan kebijakan dan regulasi agar sektor migas tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
“Tanpa insentif signifikan, eksplorasi baru tidak akan menarik bagi investor,” tuturnya.
ReforMiner mencatat, kebutuhan devisa impor migas terus meningkat, mencapai Rp380,4 triliun pada 2023, jauh melampaui rata-rata Rp290 triliun selama 2015-2022.
Proyeksi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memperkirakan angka ini melonjak hingga Rp1.391 triliun pada 2030 jika eksplorasi baru tidak segera dimulai.
“Ketergantungan impor tidak hanya membebani devisa negara, tetapi juga menurunkan daya saing kita secara global,” ujar Komaidi.
Selain tantangan tersebut, lanjut dia, transisi energi global juga memberikan tekanan besar.
Berdasarkan RUEN 2017, migas masih akan menyumbang 34-44% dalam bauran energi hingga 2050. Namun, kebijakan fiskal yang ada belum cukup mendukung proyek berbasis gas alam atau energi ramah lingkungan lainnya.
Pengembangan proyek gas yang potensial seperti 43 undeveloped discoveries membutuhkan insentif khusus.
“Kita perlu memberikan insentif tambahan untuk meningkatkan daya tarik investasi, terutama di lapangan marjinal,” ujarnya.
Penyederhanaan regulasi juga menjadi prioritas utama untuk memastikan keekonomian proyek migas. Komaidi mencontohkan penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100% selama tahap eksplorasi.
Selain itu, insentif berupa investment credit atau pengembalian modal tambahan untuk proyek berisiko tinggi tengah dikaji.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan 2023, sektor hulu migas menyumbang lebih dari Rp150 triliun terhadap penerimaan negara. Dampak ekonomi sektor ini juga terlihat dari efek ganda terhadap sektor lain, seperti jasa, logistik, dan manufaktur.
“Kita tidak hanya berbicara soal penerimaan langsung, tetapi juga bagaimana sektor ini menjadi katalis pertumbuhan ekonomi,” tutur Komaidi, menjelaskan.
Selain insentif fiskal, pemanfaatan teknologi baru juga menjadi bagian dari solusi. Menurut Komaidi, teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) telah menunjukkan hasil positif di beberapa lapangan tua.
Data SKK Migas menunjukkan penerapan teknologi ini dapat meningkatkan produksi hingga 20% di lapangan tertentu.
“Investasi teknologi semacam ini hanya akan datang jika ada kepastian hukum dan regulasi yang mendukung,” katanya lagi.
ReforMiner Institute berharap agar pemerintah mendukung transisi energi melalui kebijakan yang seimbang. Proyek berbasis gas alam dan panas bumi yang ramah lingkungan perlu mendapat prioritas.
Integrasi energi fosil dengan energi baru terbarukan dapat menjadi jembatan menuju bauran energi yang lebih berkelanjutan.
“Kita tidak bisa meninggalkan sektor migas begitu saja, tetapi harus mengintegrasikannya dalam transisi energi,” ujar Komaidi, dosen FE dan Bisnis Universitas Trisakti itu.
Dengan reformasi kebijakan yang tepat, tambahnya, sektor hulu migas dapat tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Langkah tersebut akan memastikan keberlanjutan investasi, meningkatkan penerimaan negara, dan mengurangi ketergantungan impor. []