Koperasi Batik adalah salah satu koperasi yang paling progresif dalam sejarah perkoperasian Indonesia. Sejak 1930-an di sejumlah kota, seperti Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Kudus, Gresik, Sidoarjo, Tulungagung, Ponorogo,Purworejo dan Banyumas sudah berdiri koperasi batik.
Di antara koperasi batik yang cukup baik, berdiri di Kota Tasikmalaya, pada 17 Januari 1939 bernama Koperasi Mitra Batik yang dirintis oleh terutama oleh Enie Adnan Dulhaeni (1906-1966), bersama kawan-kawannya seperti Badri, Kartasasmita, Naseh, Sayuti serta Suriaatmadja. Setiap anggota menyimpan F1 (gulden) hingga F5 per bulan.
Enie memimpin Mitra Batik pada 1939 hingga 1953, periode yang sangat sulit. Bahkan gerakan koperasi di Tanah Priangan tenggelam pada masa pendudukan Jepang, hingga awal Perang Kemerdekaan.
Pada 1948 koperasi ini bangkit lagi dengan modal Rp48. Mitra Batik berhasil mengumpulkan 59 anggota dengan semangat “sehari sehelai benang,setahun sehelai kain sarung”, dalam waktu singkat koperasi ini mengumpulkan modal Rp68.
Pada 1949 Bank Rakyat Bandung membantu koperasi ini dengan modal Rp25 ribu. Setelah RIS, giliran pemerintah memberikan bantuan Rp25 ribu. Pada 1950 juga Mitra Batik Tasikmalaya mampu melunasi semua pinjamannya.
Pada 1953 Mitra Batik mempunyai modal Rp2 juta dan jumlah simpanan 185 anggotanya mencapai Rp700 ribu. Lewat koperasi perajin batik mampu memproduksi 29.985 kodi batik. Produksi batik mereka dijual tidak saja di berbagai daerah Indonesia tetapi juga di negara tetangga lewat perantaraan Asia Trading Cody.
Koperasi Mitra Batik mampu menyerap tenaga kerja, 1.668 tukang cap, 2.661 tukang tulis, 435 mandor godog dan 21 orang pegawai kantor. Suatu hal yang luar biasa bagi sebuah koperasi di kota kecil masa itu.
Pikiran Rakjat edisi 16 Juni 1952 menyebutkan, perusahaan batik Tasikmalaya telah menajdi perusahaan turun-teumurun. Sebagian penduduk Tasikmalaya secara ekonomi bergantung pada perusahaan batik, mulai menjadi buruh hingga membuka usaha yang berhubungan dengan batik, seperti membuat canting.
Perusahaan batik di Tasikmalaya setiap hari rata-rata mengerjakan 1.185 tukang cap dengan upah borongan Rp6 hingga Rp12,50 per orangnya. Pada 1950, seorang juru tulis wanita menerima gaji borongan antara Rp3 hingga Rp5, seorang mandor godog menerima upah Rp5 sehari.
Republika edisi 28 Oktober 2014 memuat kesaksian, Hj Enok, salah satu pembatik Tasik yang bertahan dari pasang surutnya pasar batik Tasikmalaya. Menurutnya, keberadaan batik Tasikmalaya pernah mencapai kejayaannya pada dekade 1960-1970-an. Daerah tempat tinggalnya sekarang pernah dihuni lebih dari 90 persen keluarga pembatik.
Koperasi Rukun Batik
Tasikmalaya, bukan satu-satunya kota di Jawa Barat yang punya sejarah panjang koperasi batik. Sejumlah perajin Batik, seperti H. Abdul Madjid, Sasmita, Suganda dan Haji Tamim mendirikan Koperasi Rukun Batik di Ciamis pada awal 1939.
Sayangnya, tak banyak referensi yang bisa mengungkap sepak terjang koperasi. Buku yang ditulis Didit Pradito The Dancing Peacock: Colour and Motif Priangan Batik, terbitan Gramedia 2010. hanya menyebutkan pada era 1960-an hingga 1980-an dari sekitar 1200 perajin batik di Ciamis, 421 di antaranya menjadi anggota Koperasi Rukun Batik.
Batik dari Ciamis bisa dipasarkan tidak saja tingkat lokal, tetapi juga ke negeri jiran, Malaysia. Sayangnya, Gerak batik tulis, khususnya di Ciamis memasuki akhir 70-an, mulai mengalami penurunan untuk pemesanan. Akhirnya pada 80-an, para perajin batik di Ciamis ini beralih yang semula di batik tulisdan cap ke printing. Namun, usaha batik cetak juga terus berkurang
GKBI
Pada 18 September 1948 itu juga atas sokongan Jawatan koperasi Koperasi ini, dipelopori oleh beberapa pengusaha batik, di antaranya terdapat juga nama Enie Adnan Dulhaeni (pendiri Mitra Batik, tasikmalaya) dan Haji Djunaid, berdiri Gabungan Koperasi Indonesia (GKBI) di Yogyakarta.
GKBI menghimpun 20 koperasi primer dan beranggotakan 4.350 pengusaha batik (Risal Kurnia, “Cuplikan Gerakan koperasi dalam Perjuangan Kemerdekaan” dalam Berdirikari Online edisi 30 Januari 2017.
Pada 1955 GKBI diberikan konsesi dan hak eksklusif mengimpor kapas untuk benang, konsesi khusus harga pada kain mori dan penyediaan kain putih. Sejak 1960 Sukarno menyerukan agar seluruh rakyat Indonesia memakai kain batik sebagai pakaian nasional. Industri batik pun berkembang, termasuk di berapa kota di Jawa Barat.
Ketua Gabungan Koperasi Batik Indonesia Cabang Cirebon Tarmidi pada awal Juli 1961 dalam sebuah konferensi pers di kota itu mengumumkan, 23 koperasi primer sudah bergabung ke GKBI. Anggotanya meliputi 7000 pengusaha dan 200 ribu buruh, belum termasuk keluarga mereka.
Anggota GKBI tersebar di Ponorogo, Tasikmalaya, Cirebon, Tulungagung, Gresik, Kudus, Pekalongan, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Ciamis. GKBI disebut mempunyai kantor pusat di Jakarta.
“Salah sama sekali anggapan koperasi hanya mampu bergerak di lapangan semit. Koperasi sanggup melayani kebutuhan semua lapisan masyarakat,” kata Tarmidi, seperti dikutip Pikiran Rakjat, 6 Juli 1961.
Kiprah GKBI terbesar ialah pada bidang pendidikan, di mana mampu membangun 10 buah lembaga pendidikan koperasi, termasuk gedung pertemuannya. GKBI juga mampu membangun tiga buah Sekolah Menengah Atas Koperasi, 12 Sekolah Pertama Koperasi, 18 Sekolah Rakyat dan 21 Taman Kanak-kanak.
“Kami ingin menciptakan manusia koperasi yang berpengetahuan,” ujar Tarmidi lagi.
GKBI telah membagikan 950 mesin tenun baru untuk koperasi perajin batik di Tasikmalaya, Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta dan Ponorogo. Jumlah ini meningkat dibanding sebelumnya 300 buah mesin tenun. (Irvan Sjafari)