HAMPIR di seluruh warung kecil hingga ritel, minuman celup ini selalu mendominasi di berbagai lini. Namun, siapa sangka, di balik besarnya nama Sariwangi, ada fakta mengejutkan. Ya, Sariwangi bangkrut. PT Sariwangi Agricultural Estate Agency tidak mampu membayar utang yang mencapai Rp1 triliun. Beban tersebut telah mereka pikul sejak 2015, salah satunya kepada PT Bank ICBC Indonesia.
Awal ‘bencana’ Sariwangi dan Perkebunan Teh afiliasinya tersebut terjadi pada 2015. Kala itu, mereka ingin melakukan ekspansi bisnis dengan cara memperluas sistem drainase air dan teknologi penyiraman. Tapi, ekspektasi besar itu berujung nihil. Investasi yang tertanam tidak sesuai dengan hasil yang didapat.
Padahal, untuk melakukan dua kegiatan tersebut, PT Sariwangi dan afiliasinya harus meminjam uang ke beberapa debitur sebesar Rp1,5 triliun. Sariwangi hampir dinyatakan bangkrut beberapa tahun silam, tapi mereka bisa mengajukan permohonan homologasi. Secara berkala, utang dan cicilan bunga dibayar. Tapi, setelah perjanjian permohonan homologasi dibatalkan pihak Pengadilan Niaga, tidak ada cara menyelamatkan produsen teh celup tersebut.
Sebenarnya, PT Sariwangi kurang inovatif dalam mendeteksi target pasar di Indonesia. Mereka tidak mencoba mengeluarkan produk baru, umpamanya teh dalam kemasan lain berupabotol atau gelas. Konsumsi teh siap minum memang telah menjadi gaya hidup baru di Indonesia. Teh Botol Sosro dan Teh Pucuk Harum bahkan memperoleh laba besar dari produk mereka.
Derita yang dialami PT Sariwangi bisa membuktikan bahwa sebuah perusahaan besar pun bisa bangkrut. Ada beberapa penyebab, memang, tapi yang paling vital adalah kurangnya inovasi dalam produk, selain gagal melakukan ekspansi bisnis ke ranah yang lebih besar.●(dd)