Yang paling dasar kita harus tau itu sampahnya apa, untuk menentukan teknologi yang akan dilakukan. Itu yang tidak dibaca oleh pengambil kebijakan.
Pemerintah Indonesia diingatkan untuk mengutamakan penyelesaian sampah dari hulu atau sumber. Strategi ini perlu dilakukan karena penyelesaian sampah di hilir cenderung sulit, mahal, dan menimbulkan dampak negatif baru. Solusi pemerintah sebagian besar di hilir. “Kalau di hulu baru ada peta jalan, itu pun voluntary untuk pengurangan sampah plastik oleh industri,” tutur Juru Kampanye Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Jakarta, Muhammad Aminullah.
Salah satu regulasi mengenai pengurangan sampah oleh produsen termuat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75 tahun 2019. Dalam aturan tersebut, produsen harus mencapai target pengurangan sampah sebesar 30% pada 2029. Meski demikian, Aminullah menyoroti belum adanya transparansi data perihal perusahaan mana saja yang telah memilikinya dan strategi apa yang dilakukan industri.
Regulasi yang ada pun masih membutuhkan implementasi yang ketat. “Tidak cukup kita menghilangkan sampah yang sudah ada, tapi juga mencegah sampah itu diproduksi. Itu yang perlu masuk dalam tata kelola sampah. Misalnya, mengatur industri, produsen. Sebenarnya (ini) sudah diatur, tapi implementasinya belum begitu kuat,” ujarnya. Pada saat yang sama, pemerintah perlu menyelaraskan kembali prinsip zero waste yang ingin dikejar. Ini diperlukan karena ada cara pandang berbeda, hingga berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkan: antara menghilangkan sampah dan mengurangi produksi sampah.
Menurut Juru Kampanye WALHI Indonesia, Dwi Sawung, solusi seperti mengubah sampah menjadi energi listrik, pembakaran sampah dengan metode insinerator, dan refuse derived fuel (RDF), adalah solusi palsu. Solusi-solusi yang ditawarkan tersebut membutuhkan sampah untuk beroperasi. Itu berarti, keberadaan sampah akan terus dibutuhkan ke depannya.
Proyek semacam itu dinilai hanya mengubah polusi dalam bentuk lain. Pengoperasian insinerator (menggunakan alat pembakar) mengakibatkan polusi udara yang merugikan masyarakat. Keberadaan insinerator di Sukmajaya, Depok, umpamanya, berkelanjutan menerima penolakan dari warga. Salah satu warga Sukmajaya, Andre, mengungkapkan pembangunan insinerator (sejak awal/di tahap perencanaan) tidak melibatkan warga melalui diskusi ataupun sosialisasi.
Setelah beroperasi, Andre harus menyebut fakta bahwa warga terpaksa menanggung polusi udara yang dihasilkan. “Dari dampak yang kita rasakan, anak-anak ISPA, orang tua, lansia, banyak yang terganggu pernapasannya,” ujar Andre. Lokasi pembangunan insinerator juga dinilai tidak tepat. Selain dekat dengan permukiman, insinerator juga dekat dengan area UMKM, area olahraga, dan kegiatan masyarakat lainnya.
Kebijakan dan langkah yang diambil pemerintah juga saling bertabrakan. Beberapa kebijakan mengharuskan daerah mengelola sampah secara mandiri. Di lain pihak, secara bersamaan, pemerintah ngebut dengan proyek pengolahan sampah berbasis termal yang membutuhkan sampah sebagai pasokan. “Soalnya, ketika mengoperasikan RDF, PLTSa (pembangkit listrik tenaga sampah), dia membutuhkan sampah. Itu artinya akan ada perebutan sampah antara RDF dan bank sampah,” ujar Aminullah.
Agar kekacauan semacam itu tak terus berlanjut, menurut Sawung, pemerintah perlu benar-benar mengenali karakteristik sampah di Indonesia yang sebagian besar merupakan sampah organik. Pengelolaan jenis sampah ini sebenarnya membutuhkan biaya yang sedikit dan mudah dilakukan masyarakat.
Yang paling dasar kita harus ketahui adalah sampahnya jenis/tipe apa, sebelum kita bisa menentukan teknologi apa yang akan dilakukan. “Itu yang tidak dibaca oleh pengambil kebijakan di Indonesia,” ujar Sawung. Dia menambahkan, ada tahap pengelolaan sampah terlampaui, yang belum siap diolah menjadi energi. Hal ini sering kali luput dari perhatian, sehingga implementasi teknologi menjadi tidak tepat.●(Zian)