hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Saingan Berat Kami Justru Lembaga Keuangan Pemodal Besar 

Pandemi memang sudah selesai, dan perekonomian perlahan membaik. Namun trauma masih membekas di benak Hj Farida. KSPPS Abdi Kerta Raharja (Kopsyah) yang dipimpinnya nyaris collaps akibat pemerintah mengumumkan  kebijakan relaksasi pembayaran utang karena adanya pandemi. “Pemerintah bukannya bantu koperasi, malah mau ngabisin kita,” ujarnya kepada Peluang saat bertandang ke kantornya di bilangan Tiga Raksa Tangerang beberapa waktu lalu. Berikut perbincangan dengan pegiat koperasi peraih Satyalancana Wirakarya 2019 ini.

Apa saja kerugian yang dialami Kopsyah AKR selama pandemi?

Waktu pandemi nya mah gak ada masalah, kita enteng saja menghadapinya. Tetapi ketika tiba-tiba Presiden menyatakan debitur tidak perlu membayar cicilan selama satu tahun. Praktis, tagihan anggota macet. Yang menyimpan mau tarik dananya untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sementara yang minjam, berkelit di balik kebijakan relaksasi yang diumumkan presiden. Bahkan ketika ada anggota mau bayar pinjamannya karena usahanya aman-aman saja dari pandemi, tiba-tiba ada LSM mendatanginya dan meminta agar tidak bayar utang. Alasannya, karena Presiden sudah bilang tidak perlu bayar. Akibatnya, NPL kita membengkak.

Apa imbauan Anda kepada pemerintah?

Sebenarnya banyak tuh, tapi saya kira jika pengambil kebijakan bisa menjaga omongan yang tidak memojokkan perkoperasian, itu sudah baik. Jika terkait regulasi, saya harapkan segera wujudkan lembaga Penjaminan Simpanan Koperasi (LPSK) yang hingga kini masih wacana. Padahal ini sudah lama, sejak saya Sekdis tahun 2014. Saya dengar juga sudah ada kesepakatan dengan OJK namun belakangan adem ayem gak kedengaran lagi. Padahal kalau ada LPSK, koperasi akan lebih tertib dan tidak ada lagi masuk lembaga lain, seperti micro finance sekelas Indosurya yang mengaku koperasi.

Dalam praktik di lapangan adakah masalah dihadapi Kopsyah AKR yang mendesak perlu bantuan pemerintah?

Di lapangan kami berhadapan dengan banyak pesaing sekelas lembaga pembiayaan, ada Amartha, miliknya mantan staf khusus Presiden Jokowi, ada BTPN Syariah dan banyak lagi.

Sekarang ini banyak lembaga keuangan milik pemodal-pemodal asing yang masuk hingga ke pedesaan. Mereka semuanya menamakan Koperasi dan masyarakat akhirnya mengenalnya sebagai koperasi. Padahal bukan, seperti misalnya BTPN Syariah mengakunya sebagai koperasi, mereka tepatnya sebagai lembaga keuangan. Beda dengan kita, KSPPS yang anggotanya adalah pemilik. Kalau lembaga keuangan, yang meminjam tidak dijadikan pemilik sebagai debitur saja. Itu banyak beredar di daerah, lembaga keuangan tapi mengaku koperasi.

Kenapa dibiarkan oleh pemerintah?

Saya kurang tau, mungkin di daerah banyak yang tidak paham, kayak Pak Kades, Pak Camat itu sebetulnya nggak paham apa itu koperasi simpan pinjam dan apa itu lembaga keuangan. Mereka tidak paham. Kedua, lembaga keuangan juga tidak ada exit permit ke desa-desa itu, mereka main buka aja.

Bagaimana pengawasan oleh Dinas?

Sekarang dinas maupun kementerian, perhatiannya terhadap koperasi bisa dibilang masih jauh. Jadi akhirnya masyarakat yang mana aja yang ada gitu kan, dianggap koperasi.

Ada pembiaran dong bu?

Ya, tampaknya begitu. Saya justru kasihan kepada masyarakat, mereka diajarkan komsumtif tidak diajarkan pemberdayaan. Kalau di koperasi kita buka berbagai opsi produk simpan ada Si Fitri ada Si Gua, ada Si Jaka, sehingga  masyarakat bisa menabung dan punya pilihan. Kalau Idulfitri saya nggak usah minjam kan ada si Fitri. Kalau misalkan Iduladha beli kambing apa udah nabung dari awal, kalau anak sekolah ada si Mapan ya kan. Gimana masa depan Oh kalau ada uang yang tiba-tiba mendadak tapi nggak dipakai dalam jangka waktu setahun. Kita mengedukasi masyarakat untuk menabung untuk menghadapi situasi tertentu. Fungsi Koperasi itu bukan menjual “uang”. Beda banget dengan lembaga keuangan yang makin banyak nyelenong ke desa itu. (Irm)

pasang iklan di sini